
Sukoharjonews.com – Dalam permasalahan ini para ulama menyebutkan empat pendapat. Dua pendapat disertai dengan tarjih (merajihkan) dan dua lainnya dengan cara al-jam’u (menggabungkan).
Dikutip dari Humayro, Sabtu (5/7/2025), pertama, menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Malik. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari beberapa shahabat. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut:
1. Hadits Thalaq bin Ali, menuturkan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi mengenai orang yang memegang kemaluannya setelah berwudhu. Kemudian Nabi bersabda:
هَلْ هُوَ إِلَّا بِضْعَةٌ مِنْكَ
“Bukankah kemaluan itu bagian dari tubuhmu?”
Dalam lafal lainnya, ada seorang lelaki bertanya dan mengatakan “Ketika aku sedang shalat, tiba-tiba aku menggaruk paha dan tanganku menyentuh kemaluanku.” Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya itu adalah bagian dari tubuhmu.” (Sanadnya dhaif HR Abu Dawud (183), Ahmad (4/23), Al-Baihaqi (1/135), dan lainnya)
2. Para ulama ini mengatakan, tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika kemaluan seseorang bersentuhan dengan paha tidak mengharuskan wudhu. Maka tidak ada bedanya antara tangan dengan paha. Kemudian mereka mempermasalahkan hadits Basrah akan disebutkan nanti-tetang perintah wudhu karena memegang kemaluan.
Kedua, menyentuh kemaluan membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan dari kebanyakan shahabat. Hujjah mereka di antaranya:
1. Hadits dari Basrah binti Shafwan, ia menuturkan bahwa Nabi bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأُ
“Barang siapa menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu.”
2. Hadits Ummu Habibah, bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأُ
“Barang siapa menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu.”
Ada juga hadits yang serupa dengan keduanya yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Arwa binti Unais, Aisyah, Jabir, Zaid bin Khalid, dan Abdullah bin Amru. Menurut mereka, hadits dari Bashrah lebih kuat daripada hadits Thalaq. dilihat dari beberapa sisi:
Hadits Thalaq adalah cacat dan telah dinyatakan kecacatannya oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim. Bahkan, Imam An-Nawawi menyatakan dalam Al-Majmu’ (2/42) bahwa para penghafal hadits telah sepakat tentang dhaifnya hadits ini.
Apabila hadits itu shahih, maka tentunya hadits Abu Hurairah yang semakna dengan hadits Basrah-lebih didahulukan karena Thalaq tiba di Madinah ketika pembangunan Masjid Nabawi. Sedangkan Abu Hurairah masuk Islam ketika peperangan Khaibar, yaitu enam tahun setelah itu. Jadi, hadits Abu Hurairah menghapuskan hadits Thalaq.
Hadits dari Thalaq selaras dengan hukum asal, sedangkan hadits dari Basrah adalah memindahkan dari hukum asal. Dengan demikian hadits yang memindahkan dari hukum asal harus didahulukan, sebab hukum-hukum syari’at sifatnya mengganti kebiasaan para shahabat terdahulu.
Para perawi yang meriwayatkan wudhu seseorang batal dikarenakan memegang kemaluan lebih banyak dan haditsnya lebih masyhur.
Ini adalah pendapat mayoritas shahabat.
Hadits Thalaq tersebut dapat dipahami bahwa menggaruk paha kemudian bersentuhan dengan kemaluan yang beralaskan kain. Hal ini sebagaimana riwayat yang menyebutkan saat ia sedang shalat.
Ketiga, membatalkan wudhu, jika menyentuh kemaluan disertai syahwat dan tidak membatalkan wudhu, jika menyentuhnya tanpa syahwat. Pendapat ini diriwayatkan dari Malik dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani. Mereka yang berpendapat demikian berhujjah dengan membawa hadits Basrah pada makna disertai dengan syahwat, dan memaknai hadits Thalaq dengan tanpa syahwat. Menurut mereka, “Hal ini ditunjukkan pada lafal. “Sesungguhnya kemaluan itu bagian dari tubuhmu.” Dengan demikian jika seseorang menyentuh kemaluan tanpa disertai syahwat, maka hukumnya seperti menyentuh bagian tubuh lainnya.
Keempat, berwudhu karena menyentuh kemaluan termasuk perkara yang dianjurkan secara mutlak, bukan wajib. Ini adalah pendapat Ahmad dalam salah satu riwayatnya serta pendapat Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin juga lebih condong pada pendapat ini. Namun, ia menganjurkan berwudhu jika menyentuhnya tanpa syahwat, sekaligus menegaskan wajib berwudhu jika disertai dengan syahwat, sebagai bentuk kehati-hatian. Mereka memahami hadits Basrah sebagai bentuk anjuran, sedang hadits Thalaq sebagai bentuk pertanyaan tentang wajib tidaknya berwudhu.
Adapun dalil yang dijadikan pegangan hukum oleh dua pendapat terakhir yang menempuh cara penggabungan adalah sebagai berikut:
Anggapan tentang naskh hadits Thalaq karena masuk Islam lebih dahulu dari Basrah, perlu dikaji kembali. Sebab menurut pendapat para ahli tahqiq dari kalangan ulama ushul, bukan termasuk pada dalil nasikh (yang menghapus). Bahkan, terdapat kemungkinan orang yang lebih dahulu masuk Islam mendapatkan hadits dari shahabat yang lain.
Dalam hadits Thalaq ada sebab yang tidak mungkin dihilangkan, yaitu kemaluan termasuk bagian dari anggota badan. Jika hukum itu dikaitkan dengan sebab, maka tidak mungkin sebab tersebut dihilangkan, sehingga hukumnya pun tidak dapat hilang. Mengenai masalah ini tidak mungkin terjadi naskh.
Tidak akan ada penghapusan hukum, kecuali jika tidak mungkin menggabungkan kedua hadits. Penghapusan hukum ini tidak sah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Namun, jika hadits Thalaq bin Ali benar-benar shahih, maka pendapat ini tidak dapat diterima, justru pendapat yang melemahkannya lebih kuat. Maka, pendapat yang lebih jelas adalah menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik disertai syahwat atau tidak. Sebab syahwat tidak ada batasannya, dan tidak ada dalil yang merinci tentangnya. Wallahu a’lam. (nano)
Facebook Comments