Media Sosial, Kampanye, dan Politik Identitas

Ilustrasi.

Demokrasi menjadikan rakyat sebagai penentu arah kebijakan pemerintahan. Negara bersistem demokrasi memberikan kebebasan warga negaranya untuk berpendapat dan turut serta dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di Indonesia demokrasi menjadi bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (KBBI).


Indonesia telah mempraktikkan beberapa bentuk sistem demokrasi sejak menyatakan kemeredekaan pada tahun 1945. Sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah, Indonesia menerapkan Demokrasi Perlementer (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila (1965-1998) dan Demokrasi Reformasi (1998-sekarang).

Sebagai Negara Kepulauan dengan keanekargamanan suku, budaya dan agama menjadikan demokrasi sebagai sistem yang paling ideal. Dengan sistem keterwakilan, diharapkan bisa menyeimbangkan roda pemerintahan di Indonesia.

Di Negara-negara Demokrasi, dukungan dan suara terbanyak menjadi jalan dalam meraih kekuasaan. Kebebasan yang ditawarkan demokrasi mendorong berdirinya partai politik. Berbagai cara dilakukan untuk mendapat simpati dan dukungan rakyat agar perwakilan mereka dapat duduk di kursi pemerintahan.

Manuver-manuver politik akan terus digencarkan dalam berdemokrasi. Politikus tidak segan-segan mengolah opini dan mempengaruhi rakyat dengan isu-isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Politik yang memanfaatkan kekuatan suatu kelompok ini disebut Politik Identitas. Sebuah model politik yang dilahirkan dari orang-orang dari latar belakang tertentu untuk membentuk aliansi politik demi mempromosikan kepentingan khusus mereka sendiri.


Di negara demokrasi, Politik identitas menjadi senjata sebagian elit politik untuk memobilisasi massa dan menjatuhkan lawan politik. Negara-negara maju seperti Amerika juga tidak lepas dari praktik Politik Identitas seepert ini. ”Kekejaman Politik” ini dapat kita lihat pada Pemilu 2016 Amerika Serikat yang mempertemukan Donald Trump dengan Hillary Clinton.

Pemilu tersebut dianggap paling brutal dalam sejarah demokrasi Amerika Serikat. Mobilisasi politik identitas dan kebencian rasial dimanfaatkan Donald Trump. Pada saat itu, Donald Trump sukses menjatuhkan Clinton meski hasil survei berbicara sebaliknya.

Pengamat menilai Kekalahan Hillary Clinton pada saat itu disebabkan beberapa factor. Salah satunya tentang pembelannya terhadap kepentingan kelompok pendukungnya (LGBT, feminis, kulit hitam dan muslim). Pada saat itu, Clinton dinilai melupakan identitas rakyat yang mendominasi di Amerika Serikat.

Sementara itu, Donald Trump lebih mengedepankan paham populisme yang memiliki basis dari orang-orang yang memiliki identitas dominan di Amerika Serikat. Strategi Politik Identitas inil yang mengantarkan Trump memenangi Pemilu Amerika Serikat pada saat itu.


Kita juga dapat melihat hasil Pemilu di Prancis. Emmanuel Macron kembali terpilih setelah mengalahkan Marine Le Pen. Salah satu hal yang menjadi perdebatan terbesar selama persaingan adalah mengenai isu simbol-simbol keagamaan, khususnya hijab. Pada saat itu Emmanuel Macron menang setelah melawan politik identitas Le Pen yang terkenal sangat nasionalis sekaligus anti Uni Eropa dan Hijab. Marine Le Pen yang bersumpah akan melarang penggunaan hijab jika terpilih.

Sementara itu, Emmanuel Macron akan membebaskan penggunaan hijab jika dia terpilih. Emmanuel Macron mengkampanyekan bahwa hijab akan menjadi sebuah pilihan pribadi masyarakat dan tidak akan dilarang oleh pemerintah.

Menengok kerasnya politik identitas di negeri-negara maju tersebut, bukan tidak mungkin politik identitas akan menjadi ”virus” dan menjangkiti demokrasi di negar-negara lain. Mengingat demokrasi di Amerika Serikat yang telah menjadi rujukan sistem demokrasi di dunia juga memiliki masalah terkait identitas.

Sementara itu, Intensitas di media sosial menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah tidak bisa menyembunyikan manuver politik yang disebut dengan Politik Identitas ini. Walaupun makna politik identitas seperti “dikerdilkan” sebatas sekitar Agama. Yang membawa-bawa agama kepanggung politik, secata “otomatis” telah melakukan politik identitas.


Seharusnya, langkah politik yang menyangkut Suku, Agama, Ras dan Antar golongan dan dibumbui dengan narasi-narasi ujaran kebencian inilah yang disebut politik identitas. Walaupun regulasi Pemilu di Negara kita ini, Politik Identitas belum diatur secara pasti, namun meski Undang-undang UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 280 ayat (1) tentang larangan Kampanye Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).

Pasal tersebut mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang mengadu domba, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Bagi yang melanggar undang-undang ini, dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.

Sayangnya, Undang-undang teresebut hanya berlaku pada saat masa Kampanye saja. Sehingga Bawaslu tidak memiliki banyak ruang gerak dalam meindaklanjuti pelanggara. Karena itu, sebagai Langkah pencegahan, Bawaslu menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) Penyusunan Agenda Pencegahan Politisasi Sara dan Hoax Pada Pemilu Tahun 2024.


Kontrol media sosial digencarkan untuk menekan penyebaran Ujaran bermuatan SARA dengan menegakkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sudah bayak negara menjadi contoh terjadinya Disintegrasi Sosial dan ketegangan Pra dan Pasca-Pemilu. Karena itu, sudah saatnya mengubah budaya berpolitik dalam berkampanye dengan mengedepankan Positive Campaign dan ”mengharamkan” Negative Campaign. (*)

Penulis
Andi Riyanto, PPK Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *