
Sukoharjonews.com – Hakikat perkawinan merupakan penyatuan dua lawan jenis anak adam laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan ritual agama yang menghalalkan hubungan biologis diantara keduanya serta menyatukan antara kedua keluarga suku dan Negara. Atas dasar komitmen antara laki-laki dan perempuan yang bersumber dari cinta Ilahi. Namun, bagaimanakah jika masing saling mekcintai tetapi dipaksa bercerai?
Dikutip dari Bincang Syariah, pada Jumat (4/4/2025), dalam Fathu Qarib;
(وأربع لا يقع طلاقهم: الصبي، والمجنون). وفي معناه المغمى عليه، (والنائم، والمكرَه) أي بغير حق؛ فإن كان بحق وقع.
Empat orang yang tidak jatuh talaknya : anak kecil, orang gila (semakna dengan gila adalah epilepsi), orang tidur, dan orang yang dipaksa (maksudnya tanpa haq, tapi jika memang berhak dipaksa maka jatuh talaknya). (Fath al-Qarib al-Mujib Hal. 244).
Berdasarkan hukum dipaksa cerai dengan pasangan, maka perceraian yang ditengarai paksaan memang tidak jatuh, namun ada aturannya sendiri. Yaitu sebagai berikut;
الشرط الثالث تكامل الاختيار: فلا يقع طلاق المكره. لكن مع مراعاة الشروط التالية في الإكراه: 1ـ أن يكون الإكراه بغير حق، فإن أُكره على الطلاق بحق ـ كأن كان مُضاراً لزوجته، فأكرهه الحاكم على تطليقها ـ فإن الطلاق يقع. 2ـ أن يكون الإكراه معتمداً على التهديد له مباشرة، بما يحصل منه ضرر شديد: كالقتل، والقطع، والضرب المبرح، ومثله الضرب القليل والإيذاء البسيط بالنسبة لمن هو من ذوي الأقدار. 3ـ وأن يكون المكره قادراً على تنفيذ ما هدد به.
1. Pemaksaan tidak dalam rangka menegakkan kebenaran. Jika pemaksaan talak dalam rangka penegakan kebenaran, maka talaknya jatuh. Seperti ketika si suami tersebut bisa membahayakan istrinya, kemudian hakim memaksanya untuk mentalak istri, maka talak yang diucapkan atas paksaan hakim dalam kondisi ini bisa jatuh (sah).
2. Dalam paksaan tersebut ada ancaman yang bisa membahayakan dirinya secara langsung. Seperti contoh, suami diancam akan dibunuh atau disiksa dengan kejam. Atau ancaman tersebut tidak terlalu membahayakan, tapi timbul dari orang yang berkuasa.
3. Orang yang memaksa harus orang yang mampu melakukan ancamannya. (Fikih Manhaji, 4/132)
Dalam literatur fikih klasik, dicontohkan beberapa model ancamannya sebagai berikut;
وَيَحْصُلُ الْإِكْرَاهُ بِتَخْوِيفٍ بِضَرْبٍ شَدِيدٍ أَوْ حَبْسٍ طَوِيلٍ أَوْ إتْلَافِ مَالٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يُؤْثِرُ الْعَاقِلُ لِأَجْلِهِ الْإِقْدَامَ عَلَى مَا أُكْرِهَ عَلَيْهِ.
Seseorang dianggap dipaksa ketika ia ditakut-takuti akan dipukul dengan keras, ditahan, dirusak hartanya, atau hal semacamnya yang bisa mempengaruhi orang yang berakal. (Khatib Al-Syirbini, Iqna’ fi hall Alfadz abi Syuja’ 2/437).
Konsep ini didasarkan pada hadis nabi saw, dijelaskan;
ودليل ذلك قول النبي – صلى الله عليه وسلم -: ” لا طلاق ولا عتاق في إغْلاَقٍ “. رواه ابن ماجه (في الطلاق، باب: طلاق المكره والناسي، رقم: 2046) أي في إكراه، لأن المكره يغلق عليه أمره، وتصرّفه. وروى ابن ماجه (في الطلاق، باب: طلاق المكره والناسي، رقم: 2045) وغيره: أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: ” إن الله وضع عن أُمّتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه “. أي وضع عنهم حكم ذلك، لا نفس هذه الأمور، لأنها واقعة.
Talak yang bersumber dari orang yang dipaksa tidak jatuh ini berlandaskan pada hadisnya Rasulullah Saw yang berbunyi “Tidak ada (baca; jatuh) talak dan memerdekakan dalam keadaan paksaan”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam bab talak, yang demikian beralasan karena orang yang dipaksa tidak memiliki otoritas dalam urusan dan tasharrufnya. Dan dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah tidak menghukumi umatnya yang salah, lupa dan dipaksa”. (Fikih Manhaji, 4/132).
Dari keterangan di atas menjadi jelas, jika paksaan orang tuanya ini sesuai dengan regulasi di atas, maka talaknya tidak jatuh, dan sebaliknya. Talak memang bukan hal baik, namun kadang kala ini harus ditempuh untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.(cita septa)
Facebook Comments