Ragam  

Menelusuri Jejak Kiai Kidang Wulung dalam Bedhaya Anglir Mendung Mangkunegaran Solo

Makam Kiai Kidang Wulung di Dukuh Tegalpacing, Desa Baran, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo.

Sukoharjonews.com – GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, 25, dinobatkan sebagai KGPAA Mangkunagoro X pada 12 Maret 2022 di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran. Dalam penonatan terdapat, disuguhkan tarian wajib dan sakral, yakni Tari Bedhaya Anglir Mendung.


Menurut Edi Sedyawati dalam Buku “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” yang terbit tahun 1081 menyebutkan salah satu fungsi tari adalah sebagai pelengkap kebesaran raja serta memperkuat kedudukannya sebagai golongan bangsawan.

Terkait Tari Bedhaya Anglir Mendung sendiri mengalami perubahan di era Mangkunegoro I menjadi tari bentuk baru dengan mengacu pada dokumentasi foklor notasi gending Ketawang Alit Anglirmendung dan Tari Bedhaya Gadung Mlathi yang telah ada sejak zaman Panembahan Senapati tahun 1575 Masehi.

Dalam buku “Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunegaran” yang ditulis Hadi Subagyo tahun 2007 perubahan tari tersebut dibantu abdi dalem yang ahli dalam seni tari dan karawitan yakni Kiai Kidang Wulung dan Kiai Gunasuto.

Pernyataan tersebut memberi petunjuk bahwa Mangkunagoro I dengan Kiai Kidang Wulung dan Kiai Gunasuto secara bersama menggubah atau menyusun gending dan tarinya dengan ditambahkan tembang yang syairnya menggambarkan peperangan Mangkunegoro I melawan Pangeran Mangkubumi yang tak lain mertuanya sendiri karena tidak mau diajak bergabung dengan Belanda.

Peperangan dengan mertuanya yang dibantu Belanda ini terjadi di Ponorogo 1752 dan dicatat oleh juru tulis wanita dari kelompok laskar putri atau Legiun Prajurit Estri yang dinamakan Pasukan Ladrang Mangungkung dalam bentuk tembang Durma sebanyak 68 bait.


Pementasan pertama Tari Bedhaya Anglir Mendung digelar pada penobatan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I pada 17 Maret 1757. Jumlah penarinya menggunakan komposisi tiga gadis dan masing-masing di pinggang bagian depan sebelah kiri diselipkan pistol yang pernah digunakan dalam perang gerilya.

Istilah anglir (terlihat mirip) mendung (awan) digunakan untuk menggambarkan Prajurit Wiratamtama yang saat itu menghadap Pangeran Sambernyawa dengan busana lengkap berwarna gelap. Sehingga dari jauh tampak bagaikan awan mega yang menebal hitam kelam seakan bergantungan di langit.

Atas jasa membantu Mangkunegoro I dalam menggubah Tari Bedhaya Anglir Mendung, pada masa pemerintahan Mangkunegoro II, Kiai Kidang Wulung dianugerahi gelar dengan sebutan Ki Rangga Kidangwangi dan Kiai Gunasuto bergelar Ki Demang Secakarmo. Mereka ini adalah saudara kandung atau kakak-beradik putra dari Tumenggung Mlayakusumo, seorang abdi dalem yang mengabdikan diri sebagai empu karawitan di keraton Kartasura yang saat itu menjadi ibukota Kasultanan Mataram. Mlayakusumo masih keturunan Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senopati lain ibu. Ia juga saudara sepupu dari Mangkunegoro I.

Menurut sumber foklor yang disampaikan oleh Hendro Soebardjo, 94, warga Dukuh Baran yang tinggal di Grobogan, diceritakan bahwa Kiai Kidang Wulung mendapat tugas menjadi telik sandi atau mata-mata kerajaan yang sekarang dikenal dengan istilah intelejen. Ia oleh Mangkunegoro I diberi tugas menyusup ke utara tepatnya di daerah Nguter yang merupakan wilayah Kasunanan atau berdekatan langsung dengan Selogiri wilayah Mangkunegaran.


Kiai Kidang Wulung sebagai telik sandi menyamar sebagai orang yang sedang “mbarang” atau mengamen sesuai dengan keahliannya di bidang seni tari. Suatu hari ia dan pengikutnya sampai di Padukuhan Tegalpacing. Legenda yang melahirkan etimologi Dukuh Tegalpacing karena di tempat tersebut dahulu merupakan ladang luas yang banyak ditumbuhi tanaman Pacing. Tanaman ini sejenis tanaman obat yang nama latinnya “Costus Speciosus” yang berkhasiat antara lain bisa mengobati bengkak pada sakit ginjal.

Di dukuh tersebut, selain menggelar seni tari tayuban juga mengajarkan penduduk berbagai petuah hidup yang berlandaskan agama Islam dan budaya Jawa selain ilmu pengetahuan terutama pertanian.
Setelah dirasa cukup dalam menyusup wilayah Kasunanan bagian selatan, maka Kiai Kidang Wulung melaporkan hasil telik sandinya ke Kadipaten Mangkunegaran.

Suatu hari sepulang dari Ngadirojo, Wonogiri, setelah mengajari masyarakat berolah seni sinden atau sebelum kembali ke Kadipaten Mangkunegaran, ia mampir lagi ke Dukuh Tegalpacing untuk sekedar mengenang karena sebenarnya merasa kerasan mendapatkan kedamaian dan kesukseskan dalam berkesenian. Kidang Wulung kemudian berziarah ke makam Cikal Bakal Tegalpacing bermaksud berterimakasih dan mendoakan karena telah menerimanya selama mbarang sebagai telik sandi.


Namun, saat ziarah tersebut Kidang Wulung malah meninggal di samping pusaranya. Masyarakat akhirnya tahu bahwa ia seorang yang dulu pernah mbarang ternyata seorang abdi dalem Pura Mangkunegaran. Kidang Wulung oleh warga Tegalpacing kemudian dimakamkan sebelah barat makam Mbah Cikal Bakal begitu masyarakat menyebutnya. Pusara Kiai Kidang Wulung hingga sekarang masih ada di pemakaman umum Dukuh Tegalpacing, Desa Baran, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo.

Berdasarkan informasi, Soegeng Reksodihardjo dari Direktorat Sejarah pada 1991-1992 melakukan penelitian terhadap makam Kidang Wulung. Disebutkan ada hal aneh dalam susunan batu bata dari bangunan makamnya dimana selalu saja dalam keadaan porak-poranda meski pamong pemerintah desa telah berkali-kali memperbaiki, tapi tidak lama kemudian sudah porak-poranda lagi. Itulah mengapa makamnya disebut pusaranya Mbah Kidang Wulung yang seolah-olah bagai kijang lincah bergerak terus meskipun sudah lama wafat.

Kidang dalam bahasa Jawa berarti hewan kijang atau sejenis rusa yang larinya sangat kencang dan bergerak lincah. Kijang jenis Kidang Wulung sangat ditakuti oleh kijang jenis lainnya. Sebab, selain fisiknya juga bagian tanduknya mengandung senyawa racun, dimana ketika kijang mati maka tanah yang ada di sekitar kijang mati tersebut, ikut tercemar dan tidak bisa ditumbuhi dengan tanaman dalam waktu yang cukup lama.


Konon satu-satunya orang yang dapat melakukan tindakan perbaikan tersebut hanyalah orang yang berasal atau utusan Pura Mangkunegaran. Pihak Mangkunegaran akhirnya merespon usulan tersebut dan pada tahun 1980-an, makam Kidang Wulung dibangun permanen, di atasnya diberi atap yang disebut cungkup. Setelah dipugar terlihat lebih indah dan berwibawa untuk ukuran makam seorang pejabat atau priyayi. Namun, di tahun 2009, cungkup makam roboh akibat hujan deras disertai angin kencang. Genting pecah berserakan dan kayu atapnya yang telah tua hanya bisa ditepikan warga di bawah pohon besar.

Menurut Kamidi, 66, mantan Ketua RT Dukuh Tegalpacing, hingga akhir 90-an, makam Kidang Wulung, masih dianggap sebagai punden leluhur desa. Sebab, meskipun telah meninggal, dipercaya masih memperhatikan kesejahteraan dan keselamatan warga. Untuk itu, jika ada acara hajatan seperti khitanan, pernikahan, dan rasulan bersih desa, wajib melakukan ziarah dan meletakkan sesaji di makamnya, sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, agar acara hajatan terhindar dari bahaya atau malapetaka.

Tidak ada sumber yang berani memastikan mengenai kapan Kidang Wulung mulai bertempat tinggal di Dukuh Tegalpacing. Generasi sesepuh sekitar hanya mengenal bahwa tokoh yang dipundi atau dihormati itu, dipercaya sebagai abdi dalem Pura Mangkunegaran yang tersohor sebagai tokoh seni dengan spesialisasi bidang tari. Tak heran pusaranya banyak dikunjungi seniman tari dan sinden karena Kidang Wulung dianggap sebagai pepundennya para penari dan pesinden.


Menurut Hendro Soebardjo, 94, pernah mendengar dalang Ki Nartasabdha dari Semarang yang tenar di tahun 60-80-an, ziarah ke makam Kidang Wulung bersama dengan rombongan pengrawitnya.

Hal senada disampaikan Sadinem, 83, warga Tegalpacing yang menceritakan mendiang suaminya pernah dimintai tolong menunjukkan pusaranya Kidang Wulung oleh rombongan peziarah yang katanya seniman pengrawit dan pesinden dari Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Begitu juga dengan Mujiono, 61, pernah mengantarkan seorang abdi dalem pengrawit yang besoknya akan mengiringi tari bedhayan di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran.

Namun setelah angin modernisasi bertiup, ritual ziarah semacam itu menghilang dengan sendirinya. Makam Kidang Wulung sendiri selain kehilangan bangunan cungkup juga kehilangan kesakralan dan perhatian. (sapta nugraha)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *