Khutbah Jumat: Idul Fitri tentang Fitrah, Takwa dan Kemanusiaan

Khutbah jumat. (Foto: kabarfajar)

Sukoharjonews.com – Idul Fitri merupakan momen puncak dari perjuangan kita selama sebulan penuh berpuasa di bulan suci Ramadan. Puasa ini adalah upaya kita untuk kembali kepada fitrah, kesucian asli yang Allah berikan kepada manusia. Semuanya ini bisa kita lakukan berkat bimbingan Allah yang telah menunjukkan jalan dan memberi kesempatan untuk beribadah dengan sungguh-sungguh di bulan Ramadan.


Di balik kemeriahan Idul Fitri, terdapat makna dan hakikat yang mendalam, erat kaitannya dengan ajaran dasar Islam. Bagi kaum beriman, Idul Fitri bukan sekadar perayaan, melainkan peristiwa sentral yang sarat makna.

Dikutip dari Nu Online, pada Jumat (12/4/2024), Ibnu Rajab al-Hanbali, dalam kitab Lataif al-Ma’arif, halaman 277 mengatakan bahwa makna Idul Fitri bukan hanya tentang memakai baju baru, melainkan tentang meningkatkan ketaatan kepada Allah SWT. Idul Fitri yang sesungguhnya bukan tentang berhias diri dengan pakaian dan kendaraan baru, melainkan tentang mendapatkan ampunan dosa dari Allah SWT.

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدِ اِنَّـمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ وَلَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِبَاسِ وَالْمَرْكُوْبِ اِنَّـمَا الْعيْدُ لِمَنْ غَفَرَتْ لَهُ الذُّنُوْبُ

Artinya; “Bukanlah hari raya bagi orang yang memakai baju baru, melainkan hari raya bagi orang yang ketaatannya bertambah. Bukanlah hari raya bagi orang yang bersolek dengan pakaian dan kendaraan, melainkan hari raya bagi orang yang diampuni dosanya.”


Hadirin Sidang Jumat Rahimakumullah Marilah kita renungkan sejenak makna dan hakikat Hari Raya ini. “Idul Fitri” berasal dari dua kata, “Id” yang berarti kembali dan “Fitri” yang berarti suci. Jadi, Idul Fitri dapat diartikan sebagai kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian.

Fitrah yang dimaksud dalam Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian dan kemurnian diri. Kesucian merupakan esensi dari Idul Fitri, momen suci bagi umat Islam untuk kembali fitrah. Kesucian ini bukan hanya tentang kebersihan fisik, tetapi juga kesucian jiwa dan hati.

Lebih dari itu, Profesor Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an mengatakan, kesucian adalah gabungan tiga unsur yang tak terpisahkan: benar, baik, dan indah.

Dengan demikian, seseorang yang ber-idul fitri dalam arti kembali ke kesuciannya akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Ia akan menjadi pribadi yang adil, jujur, dan penuh kasih sayang. Ia juga akan menjadi pribadi yang membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain, serta memancarkan keindahan hati dan jiwa melalui akhlak mulianya.


Di bulan Ramadhan, umat Islam diajarkan untuk meningkatkan ketakwaan, menahan hawa nafsu, dan memperbanyak amal shaleh. Diharapkan setelah Ramadhan, manusia kembali menjadi pribadi yang suci dan bertakwa kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Takwa adalah konsep penting dalam Islam yang maknanya lebih dari sekadar takut kepada Allah. Ini adalah kesadaran mendalam bahwa Allah selalu bersama kita, di mana pun kita berada. Kita tidak pernah sendirian. Kesadaran ini diiringi dengan pemahaman bahwa Allah Maha Tahu, artinya Dia mengetahui segala sesuatu yang kita lakukan, pikirkan, dan rasakan. Tidak ada yang tersembunyi dari pandangan-Nya.

Dengan memahami takwa, umat Islam termotivasi untuk menjalani hidup sesuai dengan ajaran Allah. Mereka berusaha untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka menjaga hati, ucapan, dan tindakan mereka karena mereka tahu Allah selalu melihat. Takwa mendorong mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berakhlak mulia.


Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 133-134 Allah berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Ayat ini berbicara tentang empat ciri utama orang-orang yang bertakwa, yang semuanya berkaitan dengan kehidupan sosial. Pertama, mereka yang berinfak di waktu lapang maupun sempit, menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Kedua, mereka yang mampu menahan amarah, mencerminkan kesabaran dan kontrol diri dalam interaksi sosial. Ketiga, mereka yang memaafkan kesalahan orang lain, menunjukkan sikap toleransi dan kasih sayang. Keempat, mereka yang berbuat kebaikan, membawa manfaat bagi orang lain dan menciptakan lingkungan yang positif.(cita septa)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *