Ragam  

Jembatan Bacem Sukoharjo, Tempat Eksekusi PKI, Jadi Saksi Bisu Tragedi 1965-1966

Jembatan Bacem Sukoharjo.

Sukoharjonews.com – Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa kejayaannya dibawah kepemimpinan Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit sangat gencar mempropagandakan program-program partai yang memihak kepentingan rakyat. Antara lain melalui organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Lembaga yang disebutkan terakhir merupakan alat propaganda dan wadah kebudayaan yang disediakan untuk memberikan ruang berseni dan bersastra dengan semangat ideologi.


Namun, kejayaan PKI runtuh pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S 1965 yang menewaskan tujuh jenderal dan perwira di Jakarta dengan PKI yang dituduh sebagai dalangnya. Sejak kejadian itu, anggota dan simpatisan PKI diberantas. Semua simpatisan dan berbagai anggota onderbouw termasuk BTI dan Lekra tak luput dari aksi bersih-bersih tersebut.

Dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” karya Rum Aly (Hasta Pustaka 2006) menyebutkan bahwa Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo selaku Komandan RPKAD sekaligus Komandan Penumpas G30S/PKI, yang berada di lapangan pascaperistiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Bali, menyebutkan angka tiga juta jiwa yang tewas dalam pembersihan itu.

Para korban tertuduh PKI di wilayah Karesidenan Surakarta banyak yang ditangkap atau dijemput paksa sebagai tahanan. Sasanamulya merupakan salah satu kamp yang dijadikan tempat tahanan politik atau tapol di Kota Solo sejak 1 Desember 1965 sampai dengan 30 Mei 1967.

Sasanamulya yang merupakan bagian dari bangunan Keraton Kasunanan dan Kampus Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) atau sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta menjadi saksi bisu merupakan saksi bisu kebiadaban tentara penyiksa dan pembunuh tahanan.

Pada masa itu, banyak tahanan yang dibon adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan bahwa seorang tahanan akan dipinjam untuk dihilangkan nyawanya atau dibawa pergi untuk dipindahkan ke tempat lain. Tetapi, kebanyakan dibuang ke Sungai Bengawan Solo dengan ditembak terlebih dahulu dari atas Jembatan Bacem. Kemudian mayatnya dihempaskan dan dilengserkan ke sungai sehingga Sungai Bengawan Solo pernah menjadi “merah” karena mayat orang-orang yang dihilangkan nyawanya karena dituduh PKI.


Jembatan Bacem yang melintasi Sungai Bengawan Solo merupakan batas dan jembatan yang menghubungkan antara Kota Solo dengan Kabupaten Sukoharjo merupakan tempat saksi bisu paling kuat yang merekam kekejian penghilangan paksa secara masal dan pelanggaran HAM di Indonesia (1965-1966) yang berafiliasi dengan PKI.

Yayan Wiludiharto dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Jakarta yang didukung oleh Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Solo pada 2013 berhasil merampungkan pembuatan film dokumenter berjudul “Jembatan Bacem”. Film ini merupakan visualisasi cerita viral yang berkembang di Solo dan sekitarnya pada 1965-1966.

Film ini banyak menggunakan sketsa gambar untuk mendeskripsikan kesaksian para penyintas atau survivor. Meskipun hanya berdurasi sekitar 30 menit, pembuatan film ini memakan waktu sekitar 5 tahun. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya menemukan penyintas yang selamat dari upaya penghilangan paksa di Jembatan Bacem dan bisa memberikan kesaksiannya secara runtut dan lengkap.

“Sangat sulit mencari korban sekaligus saksi yang masih hidup. Sejak pembuatan film 2007, kami baru menemukan orang seperti Bardjo pada 2012,” kata Yayan yang dikutip dari Rappler.com, Jumat (30/9/2022).

Bardjo, 93, warga Sukoharjo yang kini bermukim di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, merupakan salah satu tahanan politik atau tapol dalam peristiwa 1965. Akibatnya ia mengalami siksaan fisik, dipenjara bertahun-tahun, dan mendapat stigmatisasi komunis yang ateis selama seumur hidup.

“Saya tidak memiliki dendam terhadap peristiwa berdarah itu. Saya hanya menuntut pengakuan negara atas tragedi pelanggaran HAM dan pemulihan (rehabilitasi) nama dari stigma komunis yang disandangkan pada saya. Makanya saya terus memperjuangkan rekonsiliasi itu,” katanya.

Kesaksian Bardjo adalah bagian yang menarik dalam film ini. Meskipun sudah berusia sepuh tapi masih memiliki ingatan segar tentang bagaimana dirinya dan orang-orang diangkut dari kamp penahanan pada tengah malam. Setiap tahanan diikat dengan posisi tidur terlentang di atas papan kayu seukuran badan, lalu disusun bertumpuk-tumpuk di atas truk.


Bardjo menggambarkan suasana orang-orang yang akan menjemput ajal. Ia mendengar orang yang berdoa, namun kebanyakan mereka merintih kesakitan tertindih papan dan orang di atasnya. Rintihan mereka terdengar mengerikan.

Begitu truk tiba di Jembatan Bacem, semua tahanan diturunkan dan disandarkan pada besi jembatan sebelum dieksekusi satu per satu. Namun, sebelum algojo mengarahkan senapannya, Bardjo memukulkan bagian belakang kepalanya pada papan berulang kali yang berhasil membuatnya terbalik dan jatuh ke sungai sebelum ditembak, ia pun selamat dari maut.

“Meskipun saya tidak jadi mati, tapi di kemudian hari saya tertangkap lagi dan dikirim ke Penjara Nusakambangan dan Pulau Buru selama 13 tahun,” ujarnya.

Film dokumenter ini juga merekam prosesi upacara tradisional nyadran atau sadranan yang dilaksanakan pada 2 Oktober 2005 oleh para keluarga korban di bawah kolong Jembatan Bacem yang airnya sedang surut karena kemarau panjang.

Selama lebih dari 40 tahun para korban dan keluarganya hidup dalam diam dan ketakutan ditekan rezim yang berkuasa saat itu. Sehingga pada tanggal tersebut, mereka melalui Pakorba Solo yang didukung Elsam Jakarta, baru dapat mengadakan acara sadranan untuk memperingati tragedi kelam di bawah Jembatan Bacem.

Sadranan merupakan sebuah kegiatan budaya Jawa yang mana pada kesempatan itu. Para keluarga korban dapat mengenang dan memberikan penghormatan secara terbuka bagi sanak keluarganya yang telah dihilangkan secara paksa di atas jembatan itu.

Mereka melakukan prosesi iwen-iwen yakni menabur bunga dari atas jembatan sebagai ganti kuburan para korban hilang. Dilanjutkan dengan pelepasan puluhan burung liar dan ikan lele berkumis sebagai simbol agar arwah para korban mendapatkan keadilan. Prosesi tersebut diiringi dengan alunan gending dan tembang Jawa secara live dari kelompok musik karawitan.

Kreteg Bacem atau Jembatan Bacem yang bangunan awalnya didirikan pada zaman Pakubuwana X dengan biaya pinjaman dari Pemerintah Kolonial Belanda sekitar 50.000 gulden pada 1908. Jembatan tersebut, bagi keluarga korban adalah sebuah monumen ingatan sebagai tempat untuk mengenang keluarganya yang sampai saat ini tak pernah kembali. (sapta nugraha/mg)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *