Hukum dan Ketentuan Zakat Saham

Hukum dan ketentuan zakat saham. (Foto: istock)

Sukoharjonews,com – Zakat saham adalah zakat yang dilakukan atas kepemilikan saham atau surat bukti persero dalam suatu Perusahaan Terbatas (PT), sesuai dengan nilai dan jumlah lembar sahamnya. Zakat saham wajib ditunaikan jika total harga saham bersama dengan keuntungan investasi (Deviden) sudah mencapai nisab dan sudah mencapai haul, menurut Baznaz.


Dikutip dari NU Online, pada Sabtu (2/12/2023), salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam ialah zakat. Hal ini dikarenakan ia merupakan perwujudan dari rasa keadilan dan persaudaraan dalam Islam. Secara tegas Allah swt. menyatakan dalam Alquran bahwa zakat merupakan sebuah kewajiban yang bersandingan dengan kewajiban shalat. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 43 Allah berfirman:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.

Sebelum menjelaskan hukum dan ketentuan zakat itu sendiri, terlebih dahulu akan kami bahas mengenai pengertian dan hukum sahamnya itu sendiri. Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islam wa Adilatuhu, j. VII, h. 5036 menjelaskan sebagai berikut:

أما الأسهم: فهي حصص الشركاء في الشركات المساهمة، فيقسم رأس مال الشركة إلى أجزاء متساوية، يسمى كل منها سهما، والسهم: جزء من رأس مال الشركة المساهمة، وهو يمثل حق المساهم مقدرا بالنقود، لتحديد مسؤوليته ونصيبه في ربح الشركة أو خسارتها. فإذا ارتفعت أرباح الشركة ارتفع بالتالي ثمن السهم إذا أراد صاحبه بيعه، وإذا خسرت انخفض بالتالي سعره إذا أراد صاحبه بيعه.

Artinya: “Adapun saham gabungan adalah bagian-bagian para sekutu dalam perusahaan dengan saham gabungan. Modal perusahaan tersebut terbagi dalam bagian-bagian yang sama besar, yang masing-masing disebut saham. Saham ialah bagian dari modal perusahaan dengan saham gabungan tersebut, dan mencerminkan kepemilikan hak pemegang saham yang dinilai dengan uang untuk menentukan tanggung jawab dan bagiannya dalam laba atau rugi perusahaan. Jika laba suatu perusahaan meningkat maka harga sahamnya akan naik jika pemiliknya ingin menjualnya, dan jika rugi maka harganya akan turun jika pemiliknya ingin menjualnya.”

Masih menurut Syekh Wahbah, kajian hukum jual beli saham adalah masalah ijtihadiyah imam-imam madzhab serta mujtahid yang semasa mereka belum pernah membicarakan dalam kitab peninggalan mereka, dari beberapa referensi kitab-kitab ulama kontemporer. Maka dengan demikian, kategorisasinya berdasarkan pada ijtihad ulama saat ini dengan mempertimbangkan prinsip muamalah Islam.


Terkait dengan hukum saham, Syekh Wahbah mendukung pendapat Syeklh Abdurrahman Isa yang menyatakan bahwa saham bisa dibagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan objek investasinya:

Pertama, saham-saham perusahaan industri yang tidak melakukan aktivitas perdagangan seperti perusahaan sablon, perusahaan pendingin, perusahaan hotel, periklanan, perusahaan mobil, kendaraan listrik, perusahaan angkutan darat dan laut, maka tidak ada kewajiban zakat di dalamnya. Kecuali, laba yang dihasilkan oleh saham-saham ini, digabungkan dengan harta pemegang saham lalu menzakatkannya bersama zakat hartanya setelah genap satu tahun dan mencapai nishab syara’. Sebab nilai dari saham-saham ini terwujud pada alat-alat, administrasi, bangunan, dan sejenisnya.

Kedua, saham-saham perusahaan dagang, yaitu yang membeli barang dagangan dan menjualnya seperti perusahaan-perusahaan dagang luar negeri, perusahaan eksport import, perusahaan penjualan produk dalam negeri, atau perusahaan yang memproduksi sebagian bahan mentah atau membelinya seperti perusahaan minyak, perusahaan benang dan tenun, perusahaan besi baja, perusahaan kimia, maka zakat wajib di dalamnya. Ini karena perusahaan ini melakukan aktivitas perdagangan, baik produksi maupun tidak.


Saham-sahamnya ditaksir dengan nilainya sekarang, setelah memotong nilai bangunan, alat-alat, dan perkakas yang dimiliki oleh perusahaan ini. Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan dagang yang murni zakat sahamnya wajib sesuai dengan nilai perdagangan di pasar dengan laba yang ditentukan di akhir tahun, seperti zakat barang dagangan sebesar 2,5%, jika modal dan laba mencapai nishab syara’.

Tidak ada kewajiban zakat atas tempat berdagang dari segi bangunan dan perangkat yang ada di dalamnya. Dengan catatan adanya kewajiban zakat atas perusahaan-perusahaan industri jika hasil produksinya adalah berupa dagangan yang siap dijual atau dieksport , setelah memotong nilai alat dan bangunan.(cita septa)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *