Caleg-caleg PDIP Solo Raya yang Terancam Tak Dilantik Gegara Aturan Partai Ngadu ke DPP

Caleg PDIP dari Sukoharjo, Klaten, dan Karanganyar yang terancam tak dilantik gegara aturan partai.

Sukoharjonews.com – Kisruh soal calon legislatif (caleg) yang memperoleh kursi di DPRD meluas. Setelah Sukoharjo, kasus serupa juga muncul di Kabupaten Klaten dan Karanganyar. Total ada delapan caleg PDIP yang terancam tidak dilantik dengan alasan adanya aturan partai.


Menyikapi hal itu, delapan caleg dari PDIP tiga kabupaten itupun kemudian mengadu ke DPP PDIP. Delapan Caleg masing-masing Sukoharjo (2), Klaten (4), dan Karanganyar (2). Mereka adalah, Hartanti, Sugeng Widodo, Ratna Dewanti, dan Umi (Klaten). Aristya Tiwi dan Ngadiyanto (Sukoharjo) dan Prapto Koting dan Suyanto (Karanganyar).

Salah satu caleg dari Klaten, Hartanti mengatakan, mereka yang sudah berjuang dan meraih suara tinggi kabarnya tidak akan dilantik berdasarkan peraturan partai. Padahal, jika menurut aturan, peraturan partai tidak boleh menabrak aturan yang ada di atasnya.

“Kita ingin menegakkan aturan, dimana aturan itu tidak menabrak aturan lebih tinggi. Kita ini terbentur dengan aturan yang tidak ada di AD/ART partai dan memang sudah disosialisasi dan sifatnya adalah gotong royong, tapi di lapangan tidak seperti itu,” ujar Hartanti, Jumat (29/3/2024).


Terkait dengan hal itu, pihaknya juga sudah konsultasi ke DPP PDIP dan aturan itu hanya berlaku di Jawa Tengah dan tidak semua daerah menggunakannya. “Kami, tidak egois tetapi memikirkan suara masyarakat yang sudah memilih. Akan berbeda ketika suara kami tidak masuk hasil dari rekapitulasi KPU, akan legowo,” ujarnya.

Caleg dari Karanganyar, Prapto Koting mengaku tidak pernah diajak sosialisasi mengenai peraturan DPD PDIP Jawa Tengah tersebut.

“Saya bukan komandante meski saya incumbent dan Dapil saya dipindah, tetapi alhamdulillah perolehan suara masuk. Tapi saya ini mau diganti oleh caleg dengan suara terbanyak nomor 6. Nomor dua di bawah saya dan ini adalah kesewenang-wenangan,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, dalam proses nyaleg sebelumnya, semua caleg memang diminta menandatangani pernyataan pengunduran diri. Tetapi ketika jadi dewan surat ini tidak pernah digunakan sewenang-wenang.


Dikatakan, surat pengunduran yang dibuat itu sudah dia cabut dan diserahkan melalui DPC dan ke KPU juga Bawaslu, tetapi tidak menanggapi. Hal itu juga sudah disampaikan ke DPP pada saat bertemu dengan Komarudin Watabun.

Dia juga mengaku jika tidak mematuhi DPC akan dianggap indispliner dan bisa dipecat. Tetapi saat bertemu dengan Dewan Kehormatan DPP, dijelaskan pemecatan kewenangan DPP bukan DPC. Bahkan sebelum dipecat mereka akan diklarifikasi lebih dulu.

Di satu sisi, dia juga menyesalkan KPU tidak melakukan klarifikasi soal surat pengunduran diri yang disampaikan oleh DPC.

Hal senada diungkapkan caleg dari Sukoharjo, Ngadiyanto yang mengakui dirinya membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri bukan surat pengunduran diri.


“Saya kaget bahwa di media saya dan mbak Tiwi mengundurkan diri berdasarkan surat yang dikirim DPC ke KPU. Padahal surat itu isinya bersedia, bukan mengundurkan diri,” tandasnya.

Menurutnya, DPC menyerahkan surat kesediaan pengunduran diri tersebut ke KPU karena akan digantikan oleh orang lain yang perolehan suaranya lebih sedikit. Bahkan, caleg yang tidak mengundurkan diri akan dipecat.

“Itu kami sampaikan ke DPP, dan DPD tidak mengakuinya kalau akan memecat. Selain itu soal Komandante sudah disosialisaikan tiga tahun, lha saat itu belum ada caleg kok, la sosialisasinya kemana?” ujarnya.

Ngadiyanto juga menyampaikan, konsultasi ke KPU RI menyampaikan jika KPU daerah akan mengganti tanpa koordinasi pada caleg, ada risiko gugatan hukum pidana. (nano)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *