Teladan Pemilu Damai Para Nabi yang Wajib Ditiru

Meneladani pemilu para nabi. (Foto: mengerti)

Sukoharjonews.com – Islam mengajarkan kaum Muslimin agar selalu berupaya adil dalam menyelesaikan perkara. Nabi Muhammad SAW merupakan contoh paripurna mengenai sifat adil. Dalam memutuskan persoalan, beliau selalu menelaah dengan sedetail mungkin. Pihak-pihak yang berseberangan akan didengarkan secara saksama. Dengan begitu, keputusan yang diambil dapat menjadi maslahat bagi semua.

Dikutip dari Nu Online, pada Rabu (14/2/2024), dari sejarah Islam, kita dapat mengambil setidaknya 4 keteladanan dalam menata pemilu damai dari sikap para sahabat ketika berbeda pendapat terkait memilih pemimpin umat Islam.

1. Melaksanakan kampanye politik tanpa permusuhan dan pertumpahan darah.
Kita harus belajar dari sayyidina Hasan cucu Rasulullah terkait makna memaafkan dan menghindari permusuhan serta mementingkan keselamatan nyawa rakyat.  Sayyidina Hasan tahu bahwa bapaknya yang bernama Sayyidina Ali bin Abi Thalib dikudeta kekuasaannya oleh sahabat Mu’awiyah. Tidak hanya itu, ia juga menyaksikan beberapa peperangan yang terjadi diantara ayahnya dan sahabat Mu’awiyah. Pertikaian sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah terjadi hingga ia wafat terbunuh.

Akan tetapi, beberapa tahun kemudian ketika sayyidina Hasan mendapatkan kesempatan dibaiat oleh penduduk Iraq sebagai pemimpin umat Islam. Di pihak yang lain, sahabat Mu’awiyah dibaiat oleh penduduk Syiria sebagai pemimpin Islam.

Lantas, keduanya pun bertemu di Maskin, daerah di sekitar kota Kuffah untuk mengadakan perdamaian. Maka, sayyidina Hasan memilih untuk mundur dari kepemimpinan umat Islam dan menyerahkan jabatan tersebut kepada sahabat Mu’awiyah dengan membaiatnya sebagai pemimpin umat Islam. Hal ini semata-mata untuk menghindari pertikaian dan pertumpahan darah diantara sesama umat Islam.

قال الحسن أَيُّهَا النَّاسُ، وَاللَّهِ لَوِ ابْتَغَيْتُمْ بَيْنَ جَابَلْقَ وَجَابَرْسَ رَجُلًا جَدُّهُ نَبِيٌّ غَيْرِي وَغَيْرَ أَخِي لَمْ تَجِدُوهُ، وَإِنَّا قَدْ أَعْطَيْنَا بَيْعَتَنَا لِمُعَاوِيَةَ، وَرَأَيْنَا أَنَّ حَقْنَ دِمَاءِ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ إِهْرَاقِهَا.

Artinya: “Al-Hasan mengatakan “Wahai manusia, demi Allah seandainya kalian mencari di antara daerah kota Jabalq dan kota Jabars (dua kota terjauh yang diketahui di zaman tersebut) laki-laki yang kakeknya seorang nabi selain aku dan saudaraku, niscaya kalian tidak akan menemukannya, dan sungguh kami telah memberikan baiat kami kepada sahabat Mu’awiyah, dan kami berkeyakinan bahwa menjaga darah umat islam lebih baik daripada menumpahkannya”. Dari sayyidina Hasan ini, kita belajar agar jangan sampai nafsu berkuasa dan membela paslon tertentu membuat kita mengadu domba dan menyebarkan permusuhan di sekitar kita yang berpotensi mengakibatkan pertikaian, permusuhan bahkan pembunuhan.(lihat kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ismail Ibnu Katsir [cetakan Dar Hijrah Kairo 1997] juz.11 hal.205)

2. Melaksanakan kampanye tanpa menggunakan politik identitas.
Kita harus belajar mengajak memilih pemimpin tertentu dengan menjelaskan kapasitas dan kualitasnya serta kelayakannya menjadi pemimpin. Jangan sampai kita melakukan kegiatan politik berdasarkan identitas tertentu karena hal ini tentu dapat mendiskreditkan calon pemimpin lain yang juga sesama Muslim. Hal ini sebagaimana jawaban sahabat Ali bin Abi Thalib atas protes sahabat Abu Sufyan bin Harb terkait penunjukan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah.

Diceritakan bahwa sahabat Abu Sufyan bin Harb mengatakan:

ما بال هذا الأمر في أقل قريش قلَّة وأذلها ذلَّة والله لئن شئت لأملأنَّها عليه خيلًا ورجالًا.

Artinya: “Bagaimana kalian memilih orang yang paling sedikit kaumnya dari suku Quraisy dan paling rendah dari kaumnya, demi Allah seandainya kamu mau niscaya akan aku penuhi untuknya kuda dan prajurit (sebagai ganti diangkatnya Abu Bakar sebagai pemimpin)”.

Kemudian, sahabat Ali bin Abi Thalib menjawab “Sungguh sejak lama kaummu memusuhi umat Islam wahai Abu Sufyan tetapi tidaklah sedikitpun berhasil membahayakan umat Islam, kami melihat sahabat Abu Bakar pantas mendapatkannya (jabatan khalifah)”.(lihat kitab Hayat ash-Shahabah karya Muhammad Yusuf al-Kandahlawi [cetakan Muasasah ar-Risalah Beirut 1999] juz.2 hal.245)

Dari kisah ini, kita belajar memilih pemimpin dari kapasitas dan kualitasnya bukan karena fanatisme pada identitas kesukuan sebagaimana yang diinginkan oleh sahabat Abu Sufyan bin Harb.

3. Menerima perbedaan pilihan politik tanpa menjatuhkan pihak lain.
Dalam menyikapi perbedaan politik, kita harus memahami bahwa setiap calon pemimpin memiliki kelebihan dan kekurangan. Meruncingkan perbedaan politik justru menjadi sebab pertikaian dan perdebatan yang tiada akhir. Sebaliknya, dengan saling menerima kelebihan calon pemimpin yang didukung orang lain menjadikan silaturahmi tetap baik. Kita harus belajar dari sahabat Abu Bakar ketika merasakan panasnya perdebatan di antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin dalam memilih pemimpin pengganti Rasulullah. Bahkan, ada tanda-tanda terjadi perpecahan diantara kedua kubu umat Islam ini dengan adanya ucapan salah satu ucapan kaum Anshar.

Lantas, sahabat Abu Bakar dengan gagah berani mengatakan:

نحن أولياء النبي وعشيرته وأحق الناس بأمره ولا ننازع في ذلك، وأنتم لكم حق السابقة والنصرة، فنحن الأمراء وأنتم الوزراء

Artinya: “Kami adalah para kekasih Nabi dan keluarganya serta paling berhaknya manusia dengan perkaranya, dan kami tidak berdebat atas hal ini, dan bagi kalian hak yang telah lampau dan pertolongan, kami para pemimpin dan kalian para sekretaris (wazir)” ujar Abu Bakar ash-Shiddiq.” Maka terdiamlah golongan Anshar. Dan akhirnya mereka sepakat mengangkat sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah.(lihat kitab Tarikh Ibnu Khaldun karya Ibnu Khaldun [cetakan Dar Fikr Beirut 1981] juz.2 hal.488)

4. Menerima dan menghormati hasil pemilihan pemimpin.
Dalam gelaran pemilu, tentu ada pihak yang menang dan juga ada pihak yang kalah. Akan tetapi, kedua kelompok ini harus mengetahui bahwa dalam upaya membangun bangsa dan negara tidak ada yang kalah dan menang. Siapapun yang menang, maka harus memimpin dengan baik sebaliknya pihak yang kalah harus mau mendukung calon pemimpin terpilih dalam membangun tanah air kita tercinta. Kita perlu belajar legawa dan rela dengan hasil pemilu yang akan datang untuk keutuhan NKRI.

Dikisahkan bahwa setelah sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq terpilih sebagai khalifah maka ada beberapa sahabat yang tidak menerima dengan hasil keputusan tersebut. Diantaranya adalah Khalid bin Sa’ad. Beliau tidak menyetujui hal ini karena sahabat Abu Bakar bukan dari qabilah Abdu Manaf. Bahkan, ia mengatakan kepada sahabat Utsman bin Affan “Wahai segenap keturunan Abdu Manaf, apakah kalian rela dipimpin oleh selain dari golongan kalian?”

Kejadian ini berlangsung hingga tiga bulan. Kemudian, sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq menemui Khalid bin Sa’ad. “Apakah engkau ingin agar aku membaiatmu sebagai khalifah?” tanya Khalid bin Sa’ad. Lantas, sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan:

أحبُّ أن تدخل في صُلحِ ما دخل فيه المسلمون

Artinya: “Aku ingin agar engkau masuk dalam perdamaian yang telah dimasuki oleh umat Islam”. Akhirnya, Khalid bin Sa’ad terbuka hatinya untuk menerima kepemimpinan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq demi kebaikan bagi umat Islam.(lihat kitab ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad (cetakan Dar Shadir Beirut 1968) juz.4 hal.97)

Dari kisah ini kita belajar untuk menghormati siapapun pemimpin yang terpilih tanpa melihat asal suku, strata sosial maupun kedudukannya. Siapapun yang terpilih berhak untuk ditaati dan dihormati. Sebagaimana sabda Rasulullah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيّ.

Artinya: “Rasulullah bersabda “Dengarkan dan taatlah, meskipun dijadikan pemimpin untuk kalian seorang budak dari tanah Habasyah”. (HR.Ibnu Majah).(cita septa)

Cita Septa Habibawati:
Tinggalkan Komentar