Teknik Unik Perajin Gerabah Kecamatan Wedi Klaten, Ternyata Begini Awal Mulanya

Sentra kerajinan gerabah di Desa Melikan, Kecamatan Wedi menggunakan teknik putaran miring. (Foto: Pemkab Klaten).

Sukoharjonews.com (Klaten) – Sentra kerajinan gerabah di Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten dikenal sebagai sentra gerabah yang menggunakan teknik unik dalam proses pembuatannya, yakni menggunakan teknik putaran miring. Sentra perajin gerabah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Bayat sehingga produk gerabah asal Desa Melikan sering disebut gerabah Bayat, walaupun secara administratif Desa Wisata Melikan berada dalam Kecamatan Wedi.

Dikutip dari laman Pemkab Klaten, tradisi pembuatan gerabah Bayat tidak terlepas dari peran Sunan Pandanaran atau yang sering juga disebut sebagai Sunan Tembayat atau Pangeran Mangkubumi. Beliau merupakan tokoh penyebar agama Islam di Kabupaten Klaten, khususnya di Bayat.

Meski tak ditemukan sejarah tertulis terkait awal mula kerajinan gerabah ada di Bayat, perajin meyakini kerajinan berbahan dasar tanah liat itu sudah ada saat Sunan Pandanaran mulai menyebarkan agama Islam di wilayah Bayat pada abad ke-15. Keyakinan itu berdasarkan keberadaan Gentong Sinogo, tempayan berisi air untuk wudhu.

Teknik putaran miring dalam pembuatan gerabah dengan menggunakan roda putar datar sebenarnya banyak dijumpai di berbagai daerah, tetapi bila menilik langsung produksi gerabah Bayat, Anda akan menemui hal yang sedikit berbeda dari biasanya. Roda putar yang mereka gunakan tidak datar (horisontal), melainkan dimiringkan beberapa derajat ke depan sehingga teknik pembuatannya disebut teknik putaran miring.

Lalu mengapa masyarakat Bayat menggunakan teknik putaran miring ini dalam membuat gerabah? Ketua Desa Wisata Gerabah Melikan, Sumilih, mengatakan jika teknik tersebut digunakan karena dahulu banyak perajin gerabah berasal dari kaum perempuan, dimana perempuan jaman dahulu masih memakai pakaian adat Jawa, yakni dengan mengenakan kebaya dan kain jarik.

“Untuk menjaga kesopanan, para perempuan ini menggunakan teknik putaran miring yang mengharuskan mereka duduk miring,” ujarnya.

Menurutnya, dengan posisi miring seperti itu, mereka menjaga etika kesopanan dengan tidak membuka paha ketika bekerja. Ditambah lagi, secara ergonomis, teknik putaran miring memberikan kemudahan kaum perempuan yang memakai kain jarik panjang untuk bekerja karena mereka tidak harus menekuk kakinya.

Keunikan teknik tersebut menarik perhatian guru besar fakultas Seni Kyoto Seika University di Jepang untuk mempelajari gerabah Bayat. Professor tersebut bernama Chitaru Kawasaki datang ke Melikan pada tahun 1992 untuk meneliti tentang teknik putaran miring karena di sini merupakan satu-satunya daerah yang menggunakan teknik ini.

Profesor tersebut juga mendirikan laboratorium gerabah didaerah tersebut dan juga yang menggagas berdirinya SMK jurusan seni kerajinan pertama di Indonesia bersama yayasan Titian Foundation dan Qatar Foundation, yang pada 2009 lalu sudah diresmikan, yaitu SMKN 1 ROTA (Reach Out To Asia) Bayat. (nano)

Nano Sumarno:
Tinggalkan Komentar