Sukoharjonews.com (Sukoharjo) – Warga yang menempati lahan di bantaran rel pasif di Dukuh Gembongan, Desa Pabelan, Kartasura, Sukoharjo mengadu ke DPRD. Warga mengadukan melonjaknya tarif sewa lahan dari PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Aduan warga tersebut lantas ditindaklanjuti oleh Komisi 3 DPRD yang lantas menggelar “hearing” bersama manajemen PT KAI DAOP VI Yogyakarta dan juga pejabat Pemkab Sukoharjo. “Hearing” digelar di DPRD Sukoharjo pada Senin (19/11).
Ketuga Paguyuban Siti Migunani Dukuh Gembongan, Pabelan, Ali Judan mengatakan, selama ini warga yang menempat lahan milik PT KAI selalu disiplin dalam membayar uang sewa. Untuk itu, warga meminta tarif sewa diturunkan dengan mempertimbangan nilai historis dan sosial. “Bahkan, selama ini kami juga yang membayar PBB. Warga kemudian kaget ketika mendapatkan tagihan sewa yang sangat besar dan memberatkan,” ujar Ali.
Menurutnya, lahan yang ditempati warga sekitar 200 meter persegi hingga 300 meter persegi. Pada tahun 2017 lalu, warga tahu-tahu mendapatkan tagihan antara Rp40 juta hingga Rp50 juta. Untuk itulah warga keberatan dengan naiknya tarif sewa tersebut. Ali meminta PT KAI melihat nilai historis dan sosial dari kondisi tanah PT KAI yang tidak bernilai menjadi bernilai seperti saat ini.
Menurutnya, warga juga keberatan soal surat perjanjian ari PT KAI yang hanya dibagikan begitu saja tanpa ada musyawarah terlebih dahulu. Saat itu, warga selaku penyewa langsung diminta untuk menandatangani. Padahal, warga menempati lahan tersebut sudah sejak 1983.
Kepala Desa Pabelan, Sri Handoko menyampaikan, dahulu daerah Gembongan ada rel KA yang kemudian mangkrak. Menurutnya, sebagian rel KA telah menjadi jalan raya dan sebagian ditempati oleh mantan karyawan PT KAI. Sri Handoko meminta PT KAI memberikan bukti kepemilikan terlebih dahulu agar ada kejelasan. Terlebih lagi, awalnya lahan yang ada pernah dikelola oleh desa sebelum akhirnya digunakan untuk rel KA.
Sedangkan Kepala DAOP VI Yogyakarta Eko Purwanto menegaskan, lahan di Gembongan memiliki dasar hukum sejak zaman Belanda. Menurutnya, jalur tersebut dahulu merupakan jalur operasional KA jurusan Solo Kota ke Boyolali hingga kemudian tidak diaktifkan. Eko mengakui ada kevakuman penarikan retribusi sejal 2010 hingga muncul Surat Keputusan (SK) Direksi pada 2016 perihal tarif sewa.
“Penyesuaian tarif diatur dalam SK direksi. Di Gembongan, nilai tarif menggunakan Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP tanah di belakang, bukan NJOP tanah yang depan,” ujarnya.
Menurutnya, NOJP tanah belakang senilai Rp800.000 sedangkan NOJP tanah depan jalan raya senilai Rp2 juta. Karena NJOP dari tahun ke tahun berubah, otomatis sewa tanah juga berubah. Soal aspirasi warga tersebut, pihaknya akan menyampaikannya ke direksi.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Sukoharjo Dahono Marlianto meminta penarikan sewa ditunda dan diadakan musyawarah ulang dengan fasilitasi pemerintahan desa. Kepastian hukum kepemilikan tanah di Gembongan diperjelas agar sewa yang dikenakan kepada warga memiliki dasar hukum. “Harapannya masalah ini segera selesai. Dibicarakan ulang dengan fasilitasi pemerintah desa,” ujar politisi PDI Perjuangan tersebut. (erlano putra)
Tinggalkan Komentar