Sukoharjonews.com (Tawangsari) – Kejaksaan Negeri (Kejari) tengah mengusut dugaan korupsi di Badan Kredit Kecamatan (BKK) Tawangsari. Saat ini, Kejari tengah melakukan penyidikan atas penyelewenangan dana nasabah tabungan dan juga kredit fiktif yang dilakukan oknum pegawai BKK hingga menimbulkan kerugian Rp5 miliar. Modus yang digunakan pelaku adalah mencatat simpanan nasabah secara manual sehingga yang tercatat dalam sistem BKK dan buku tabungan berbeda.
Dengan mencuatnya kasus tersebut membuat nasabah tabungan merasa resah. Pasalnya, dana simpanan di BKK Tawangsari tidak bisa diambil. Seperti diungkapkan salah satu nasabah tabungan Sumiyati. Buruh tani warga Dukuh Pilang, Desa Lorog, tersebut mengaku jumlah tabungannya yang tercatat di buku tabungan berbeda dengan jumlah tabungan yang tercatat dalam sistem komputer BKK. Bahkan, selisihnya cukiup besar diatas Rp20 juta.
“Saya hanya bisa mengambil uang tabungan sesuai yang tercatat dalam sistem komputer BKK. Kalau yang sesuai dalam buku tabungan tidak bisa,” ungkapnya, Rabu (24/7).
Dia menuturkan, sesuai buku tabungan, jumlah uang simapanan miliknya sebesar Rp26.204.831, namun hanya tercatat di BKK sebesar Rp4.200.000. Dirinya hanya bisa mengambil yang tercatat dalam komputer BKK saja, sedangkan sisanya belum diketahui pasti akan dikembalikan. Sumiyati mengaku tidak curiga karena nasabah lain juga sama, hanya dicatat secara manual ketika menabung. Selain itu, ujar Sumiyati, petugas yang mencatat juga berganti-ganti.
Sumiyati sendiri mulai menabung di BKK Tawangsari sejak November 2018 untuk tabungan biaya sekolah anaknya. Sumiyati juga sudah dimintai keterangan oleh Kejari sebanyak dua kali terkait kasus tersebut. “Saya itu cuma buruh tani, menabung sedikit-sedikit biar punya simpanan, kok ya tega-teganya mengambil uang saya,” ujarnya sedih
Hal senada diungkapkan nasabah lainnya Saniwati, warga Dukuh Kemasan RT 02/06, Desa Lorog, Tawangsari. Buruh tenun sarung Goyor tersebut mengaku rutin menabung ke PT BKK Jateng Unit Tawangsari dengan harapan keamanan uang dapat terjaga. Sama dengan Sumiyati, Saniwati juga tidak merasa curiga dengan buku tabungan yang hanya dicatat manual.
“Saya mulai menambung sejak Februari 2005. Saldo terakhir pada Oktober 2018 senilai Rp23.626.560. Namun, saldo tersebut berbeda dengan yang tercatat di sistem komputer BKK yang hanya Rp5.500.000,” ujarnya.
Dirinya mulai curiga ketika setiap menyetorkan uang, buku tabungan tidak bisa langsung dibawa pulang. Dengan alasan komputer rusak sehingga buku tabungan miliknya ditahan. Menurutnya, hal itu terus berulang sejak akhir 2018. Jadi, setiap menabung, bukunya lantas dibawa petugas dengan alasan akan dicocokkan dengan data di komputer. Dirinya baru tahu ada masalah ketika ada petugas BKK yang memberitahu pada Januari 2019 jika ada pegawai yang korupsi.
“Saat itu saya langsung kaget dan kepikiran terus hingga tidak bisa tidur berhari-hari takut uangnya tidak diganti. Sebab uang tersebut mau saya gunakan untuk “nyewu” ibu saya,” tuturnya.
Saniwati sendiri sudah dimintai keterangan oleh Kejari Sukoharjo terkait kasus itu. Seperti Sumiyati, dirinya juga hanya bisa mencairkan saldo yang tercatat dalam sistem komputer BKK senilai Rp5.500.000. Menurutnya, pihak Kejari dan BKK sendiri meminta dirinya tenang karena uang disimpan akan kembali. Meski begitu, dirinya tetap saja tidak bisa tenang karena kapan uangnya kembali belum jelas. (erlano putra)
Tinggalkan Komentar