Sukoharjonews.com– Sulit memisahkan bulan suci Ramadhan dengan tradisi menyalakan petasan. Keduanya saling berhubungan. Hal ini terlihat dari aktivitas penyalaan petasan menjadi pilihan yang dipilih generasi muda seluruh Indonesia untuk memeriahkan bulan penuh berkah ini. Maka wajar saja jika Ramadhan tiba, petasan mulai dijajakan oleh pedagang kaki lima pinggir jalan hingga memenuhi etalase toko.
Dilansir dari VOI, Jum’at (22/3/2024), antusiasme sebagian besar generasi muda yang dikenal penuh semangat kerap meramaikan masuknya bulan suci melalui suara petasan. Bagaimana tidak, betapa sepinya Ramadhan tanpa hadirnya suara petasan.
Entah itu untuk membangunkan masyarakat agar berpuasa subuh, menunggu datangnya genderang magrib, hingga merayakan perayaan hari lebaran. Oleh karena itu, meskipun tradisi ini dianggap berbahaya dan tidak berasal dari syariat Islam, nyatanya tradisi ini dapat dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia dan sudah ada sejak lama.
Salah satu bukti terkait gambaran pengalaman bermain petasan pada masa penjajahan, juga disampaikan oleh jurnalis lawas Indonesia, Muhamad Radjab dalam otobiografinya yang berjudul Semasa Kecil di Kampung 1913–1928 (1950). Baginya, bulan puasa akan menjadi istimewa jika ada tradisi menyalakan petasan.
“Pertama, bulan itu tidak perlu sekolah lagi, setiap hari kita bisa bermain sesuka kita, siang malam, menyalakan petasan dan meriam betung. Di desa-desa sudah menjadi kebiasaan masyarakat memasang petasan dan meriam betung. petasan di bulan puasa.”
Ia juga mengatakan, pada bulan-bulan awal Ramadhan, penjual petasan masih sedikit. Namun seiring berjalannya waktu berkembang seiring semakin dekatnya hari raya Idul Fitri. “… Semakin mendekati Idul Fitri, semakin banyak pula yang berjualan petasan,” tulisnya.
“Ini yang menghibur dan menyemarakkan. Tunjangan yang didapat dari orang tua adalah untuk membeli petasan yang dipasang hemat, atau membeli minyak tanah untuk pemasangan meriam Betung.”
Beda Radjab, beda pengalaman yang dituturkan bocah kecil bernama Kusno di Mojokerto. Saat itu, menjelang Idul Fitri, Kusno hanya bisa mengintip orang-orang yang sedang bermain petasan melalui lubang kecil di dinding bambu kamarnya.
Hati Kusno semakin sedih, ketika dari tahun ke tahun, ia tidak bisa bermain petasan – mercon – bersama teman-temannya. Namun, Kusno merasa senang saat seorang kenalan ayahnya memberikan hadiah petasan kepadanya. Itu adalah hadiah yang sangat berarti yang dia terima dalam hidupnya. Sampai-sampai ia tak bisa melupakan pemberian petasan.
Saat ini masyarakat mengenal seorang anak kecil bernama Kusno yang tak lain adalah Ir.Soekarno, seorang proklamator dan Presiden Pertama Indonesia. Pengalaman masa kecil Bung Karno bermain petasan merupakan kisah yang diabadikan oleh S. Kusbiono dalam Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia (2003).
Oleh karena itu, kisah Bung Karno menjadi bukti otentik bagaimana petasan sudah menjadi permainan yang biasa dimainkan anak-anak saat Ramadhan dan Idul Fitri. Sebab, hingga saat ini tradisi tersebut masih tetap dipertahankan meski kerap membuat kaget masyarakat.
Keberadaan petasan
Zeffri Alkatiri dalam bukunya yang berjudul Jakarta Punya Cara (2012) menceritakan tentang tradisi petasan yang awalnya dibawa oleh orang Tionghoa ke Batavia. Buktinya, hingga saat ini tradisi menyalakan petasan masih terus dilakukan dalam berbagai ritual Tionghoa, seperti Sin Cia dan Cap Go Meh.
Padahal saat ini di berbagai daerah sudah banyak yang melarang tradisi bermain petasan karena termasuk dalam kategori benda yang membawa seribu sampah. Padahal, hal berbeda akan didapat jika melihat keberadaan petasan pada zaman penjajahan yang meyakini tradisi tersebut dapat menunjukkan nilai atau kekayaan seseorang.
“Pada zaman kolonial, tradisi pembakaran petasan juga ramai, terutama pembakaran pada hari Natal, Tahun Baru, Idul Fitri dan pada beberapa hari ritual masyarakat Tionghoa Betawi. Tradisi membakar petasan juga dapat menunjukkan gengsi seseorang. karena semakin banyak sampah yang dibakar petasan di rumahnya, maka ia dianggap kaya atau semakin menunjukkan kemampuan modalnya, ”kata Zeffry.
Atas dasar itu, petasan yang awalnya diperkenalkan oleh masyarakat Tionghoa, perlahan tapi pasti mulai digemari oleh masyarakat marginal Betawi untuk merayakan momen bersejarah dalam kehidupan. “… Betawi pinggiran melakukannya untuk keperluan khitanan, perkawinan, dan kadang juga untuk ibadah haji,” lanjutnya.
Hal itu dibenarkan Tokoh Muda Betawi, Masykur Isnan. Menurutnya, tradisi petasan masyarakat Betawi mengadopsi konteks asal muasal petasan dari Tiongkok dalam arti mengusir hal-hal buruk. Oleh masyarakat Betawi, makna petasan dimodifikasi menjadi bentuk rasa syukur.(Patrisia argi)
Tinggalkan Komentar