Mimbar: Tempat Kecil Penuh Makna di Masjid

Mimbar masjid. (Ilustrasi)

Sukoharjonewws.com – Masjid dikenal sebagai salah satu pusat peradaban Islam. Di sinilah umat Islam menjalankan shalat lima waktu dan menerima pelajaran agama. Dari masjid pula hadir berbagai institusi lainnya, seperti madrasah, pesantren, bahkan universitas. Dari masa ke masa, arsitektur masjid selalu berubah, mulai dari yang sangat sederhana di zaman Nabi Muhammad SAW (Masjid Quba, masjid pertama yang didirikan, dindingnya terbuat dari pohon kurma sementara atapnya ditutupi oleh daun kurma) hingga ke berbagai masjid baru di dunia Islam dewasa ini yang dibangun dengan bahan yang lebih kuat dan fasilitas yang jauh lebih lengkap.

Dikutip laman Suara Muhammadiyah, Senin (4/4/2022), Azhar Rasyid menyampaikan, ada satu elemen penting lain, yang tampak sederhana namun memiliki fungsi krusial, yakni mimbar. Kata ‘mimbar’ berasal dari bahasa Arab minbar, dan kemudian diserap ke dalam bahasa lain, seperti minber dalam bahasa Turki, dan mimbar dalam bahasa Indonesia. Mimbar adalah sebuah tempat atau ruang kecil yang disediakan di dekat mihrab, dan dipakai sebagai tempat khatib menyampaikan ceramah. Berbeda dengan shalat yang mengarah ke kiblat, mimbar mengarah ke jamaah, atau berlawanan dengan arah kiblat.

Di balik mimbar terdapat sebuah kursi tempat duduk khatib. Di masjid-masjid di antero dunia Islam, mimbar hadir dalam corak yang beragam, mulai dari yang sangat biasa (panggung yang ditinggikan beberapa anak tangga) hingga ke yang sangat artistik (misalnya dibuat menyerupai sebuah rumah kecil, dengan tiang penyangga dan atap yang diberi dekorasi indah).

Penggunaan mimbar sebagai salah satu sarana yang membantu penyampaian ceramah telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw. Menurut para sejarawan, mimbar pertama telah hadir sekitar tahun 628-31 M. Bentuknya berupa sebuah kursi kayu yang untuk menaikinya terdapat dua anak tangga. Nabi Muhammad memesan kursi ini untuk ditempatkan di masjid Madinah. Dari mimbar inilah Nabi Muhammad menyampaikan khutbah-khutbahnya.

Sejarah mimbar memasuki babak baru di masa para khalifah, dengan menguatnya posisi khalifah dan jajarannya sebagai penguasa politik. Penghormatan diberikan kepada sang khalifah saat ia duduk di mimbar. Mimbar digunakan oleh para gubernur di masa ini untuk beraudiensi dengan warganya, menyampaikan pengumuman, serta tetap melanjutkan fungsi dasarnya sebagai tempat menyampaikan khutbah, khususnya khutbah Jum’at.

Bentuk mimbar juga berubah, dari yang awalnya hanya memakai dua anak tangga, di zaman Mu’awiyah dari Dinasti Umayyah menjadi memakai enam anak tangga. Sejak era Umayyah inilah mimbar semakin dikenal dan lazim ditempatkan sebagai salah satu (di sejumlah masjid bahkan menjadi-satu-satunya) perabot di dalam masjid.

Ada beberapa contoh mimbar lama yang menarik untuk dikemukakan. Pertama, mimbar di masjid agung di Qairawan (Kairouan, Tunisia), yang diperkirakan dibuat pada tahun 862/3 M. Mimbar ini dibuat untuk emir Abu Ibrahim Ahmad, penguasa Dinasti Aghlabid, yang berkuasa di sekitar Tunisia dan timur Ajlazair. Sebuah catatan sejarah menyebut panjang mimbar ini 3,93 meter dan tingginya 3,31 meter. Sama seperti di zaman Nabi Muhammad, mimbar ini juga memakai tangga. Namun, ada satu yang membedakannya, yang mungkin menjadi inspirasi awal bagi mimbar-mimbar selanjutnya: mimbar ini sudah diberi hiasan berupa dekorasi bunga.

Kedua, yang barangkali merupakan mimbar terbesar di milenium pertama sejarah Islam: mimbar di Masjid Selimiye, Edirne, Turki. Mimbar ini dibuat untuk Sultan Selim II (Sultan Turki Usmani, berkuasa tahun 1566-1574 M). Ada dua hal mencolok dari mimbar ini. Pertama, ukurannya yang amat besar, yaitu panjang 13,40 meter dan tinggi sekitar 24 meter. Kedua, bila mimbar-mimbar sebelumnya umumnya terbuat dari kayu, mimbar di Masjid Selimiye ini terbuat dari marmer.

Keragaman dalam bentuk fisik mimbar dapat juga dilihat dari mimbar-mimbar yang ada di Indonesia. Salah satu masjid tertua di Jawa adalah Masjid Agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M. Masjid ini dipercaya didirikan oleh empat orang wali penyebar Islam di Jawa, yaitu Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Ampel. Selain karena atapnya yang berbentuk tumpang tiga, keunikan lain masjid ini adalah mimbarnya.

Mimbarnya dibuat dari kayu yang sangat terkenal keawetannya, kayu jati, dengan ukuran berupa: panjang 2,46 meter, lebar 1,65 meter, dan tinggi 2,92 meter. Tak hanya itu, permukaan mimbar juga dipenuhi dengan hiasan. Sebagian besar mimbar ini diberi hiasan yang menyimbolkan tumbuh-tumbuhan. Ada gambar singa dan tumbuh-tumbuhan di bagian depan tiang mimbar sementara bagian ujung tiang ini dihiasi dengan lengkung kala-makara. Motif di bagian terakhir ini adalah Surya-Majapahit.

Di bagian timur Indonesia terdapat pula masjid dengan mimbar tua. Salah satu masjid yang menyimpan mimbar tua itu adalah Masjid Nurul Bahri yang berlokasi di tepi pantai Labuan Carik, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Masjid ini diperkirakan dibangun pada tahun 1700 M oleh sejumlah saudagar Bugis yang singgah ke sana untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Di dalam masjid ini terdapat dua benda peninggalan yang usianya sudah mencapai sekitar 300 tahun, yakni sebuah beduk dan sebuah mimbar yang terbuat dari kayu.

Di Sumatera Barat, salah satu pusat penyebaran agama Islam di pantai barat Sumatera, terdapat sebuah mimbar yang dibuat dengan bahan berbeda. Di Nagari Rao-Rao, Tanah Datar, Sumatera Barat, berdiri sebuah masjid tua bernama Masjid Raya Rao-Rao. Dibangun sejak tahun 1901 dan digunakan tujuh tahun kemudian, masjid ini mengadopsi gaya arsitektur Minangkabau, Persia dan Belanda. Berbeda dengan mimbar masjid lain yang terbuat dari kayu, mimbar di Masjid Raya Rao-Rao dibuat dari batu. Batu ini lalu diberi lapisan yang terbuat dari pecahan kaca keramik. Ukuran mimbar ini ialah 3 X 1,38 meter. Adapun tingginya mencapai 3,1 meter. Mimbar batu ini dibuat pada tahun 1930. (*)

Nano Sumarno:
Tinggalkan Komentar