Mengenal Fenomena “Blame the Woman” pada Perempuan

Blame the woman. (Foto : Unplash)

Sukoharjonews.com – Apakah kamu pernah mendengar sindrom “blame the woman”? Seperti namanya, istilah ini merujuk pada tindakan menyudutkan dan menyalahkan perempuan atas segala hal buruk yang terjadi di masyarakat.


Dilansir dari Washington Post, Senin (29/5/2023), fenomena ini sebenarnya sudah terjadi, mungkin, sejak peradaban manusia terbentuk. Sebenarnya apa itu “blame the woman”? Apa penyebabnya? Adakah cara mengatasinya? Berikut ulasannya

Mengenal Sindrom “Blame the Woman”
Sebagaimana dijelaskan di atas, “blame the woman” adalah sikap menyalahkan perempuan atas kejadian buruk yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, tanpa memandang posisi perempuan sebagai korban, pelaku, atau bystander sekalipun, masyarakat akan beranggapan bahwa kaum Hawa adalah pihak yang bertanggung jawab atas semuanya.

Washington Post menjelaskan bahwa ciri utama dari sindrom ini adalah anggapan bahwa perempuan memiliki kekuatan yang sangat besar, di mana perempuan dianalogikan sebagai Wonder Woman vs Wonder Witch. Penyebutan Wonder Woman akan muncul jika perempuan melakukan hebat dan bersinar. Namun jika ada sedikit saja masalah, maka citranya akan turun drastis menjadi Wonder Witch.

Apapun kondisinya, Wonder Witch akan menghadapi kritik tajam tanpa ampun karena dianggap melalaikan perannya. Bahkan yang lebih ekstrim, masyarakat kerap menuding perempuan bersalah karena tidak bertindak apapun untuk mencegah kejadian buruk. Padahal, dalam berbagai kasus, sekalipun perempuan telah bertindak sekuat tenaga, mereka akan tetap dianggap salah saat usahanya gagal.


Fenomena “Blame the Woman”: Ketika Perempuan Dianggap “Jahat”
Salah satu contoh fenomena “blame the woman” terjadi ketika Will Smith memukul Chris Rock pada tahun 2022 karena melontarkan lelucon tentang istrinya, Jada Pinkett Smith. Nyatanya, publik lebih bersimpati pada Rock sebagai korban, kemudian menganggap Jada Pinkett provokator suaminya untuk melakukan pemukulan.

Washington Post juga mencatat kasus Shirley Draper yang dinyatakan bersalah karena kematian dua anak perempuannya. Kesalahannya adalah dia dianggap lalai sehingga tidak mencegah saat suaminya yang sedang mabuk membawa anak-anak itu ke dalam mobil.

Kasus lainnya, seorang perempuan bernama Sandy Peacock dari Baltimore meninggal akibat pembunuhan oleh suaminya sendiri. Namun hakim memberikan hukuman ringan pada pelaku karena alasan pembunuhan itu adalah korban telah berselingkuh. Putusan hakim seolah mengisyaratkan bahwa korban memang layak untuk dibunuh.


Namun kita tak perlu bicara soal kasus besar. Coba lihat saat seorang anak tidak berkembang dengan baik. Sebagian besar orang akan menyalahkan ibu sebagai penyebabnya. Bahkan ketika sebuah perselingkuhan terjadi dalam rumah tangga, publik akan melimpahkan kesalahan pada istri karena tidak mampu memuaskan dan menjaga suami.

Bahkan saat perempuan menghadapi pelecehan seksual, akan lebih mudah menudingnya telah bertindak provokatif, ketimbang meminta pertanggungjawaban pelaku yang tidak bisa mengendalikan diri. Selain itu, masih banyak kasus kecil dalam keseharian kita yang menjadikan perempuan sebagai obyek bulan-bulanan. Faktanya, melimpahkan kesalahan adalah hal paling mudah untuk menyikapi masalah.


Penyebab
Sindrom “blame the woman” adalah masalah yang telah mengakar terlalu dalam, terutama karena dunia telah dikuasai budaya patriarki sejak awal peradaban. Anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari pria telah dipahami dengan cara terlalu ekstrim oleh sebagian besar bangsa dunia.

Alih-alih hubungan saling mengayomi dan mengasihi, banyak pria yang mulai merasa superior, menindas, dan memperlakukan perempuan layaknya barang. Pemikiran ini terus berkembang dari masa ke masa sehingga perempuan terus dianggap inferior dan harus tetap jadi pihak “kelas dua”. Hal ini terus terpupuk sehingga menjadi sentimental dan kebencian pada perempuan.

Dalam ranah keluarga saja, terlepas dari kodrat untuk melahirkan dan menyusui, hingga saat ini tugas merawat dan menjaga masih dibebankan kepada perempuan. Tugas ini menjadi “harga mati”, sehingga apapun latar belakang perempuan (entah karena dia harus bekerja, memiliki penyakit berat, dan lain-lain), dia akan tetap disalahkan jika ada masalah dengan keluarga.


“Blame the Woman” by Women
Hal mengerikan lain dari sindrom “blame the woman” adalah hal ini juga kerap dilakukan perempuan kepada sesamanya. Kamu mungkin sering melihat fenomena di mana sesama perempuan saling menjatuhkan demi kepentingan pribadi. Padahal, masing-masing perempuan memiliki problematika yang sama, dan seharusnya saling mendukung demi mencapai tujuan bersama.(patrisia argi)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *