Sukoharjonews.com – Makam Kiai Demang Secakarmo terletak di Dukuh Nguter RT 02/07, Desa Nguter, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo. Makam tersebut cukup dikenal dan banyak dikunjungi masyarakat khususnya para seniman dalang. Makam Kiai Demang Secakarmo berada di kompleks pemakaman Umum Desa Nguter. Jarak makam itu dengan pusat Kota Sukoharjo sekitar 12,9 kilometer. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor membutuhkan waktu sekitar 23 menit.
Lantas, seperti apa cerita dari Kiai Demang Secakarmo ini?
Kiai Gunasuto merupakan saudara kandung Kiai Kidang Wulung yang berjasa membantu Mangkunegoro I menggubah Tari Bedhaya Anglir Mendung. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro II dianugerahi gelar dengan sebutan Kiai Demang Secakarmo. Ia adalah saudara kandung Secayudha atau Kiai Kidang Wulung yang bergelar Ki Rangga Kidangwangi, ahli seni tari, makamnya berada di Dukuh Tegalpacing, Desa Baran, Nguter, Sukoharjo.
Keduanya adalah putra dari Tumenggung Mlayakusumo, seorang abdi dalem yang mengabdikan diri sebagai empu karawitan di keraton Kartasura yang saat itu menjadi ibukota Kasultanan Mataram. Mlayakusumo masih keturunan Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senopati lain ibu. Mlayakusumo juga saudara sepupu dari Mangkunegoro I.
Menurut sumber foklor yang disampaikan Hendro Soebardjo, 93, warga Desa Baran, Nguter, yang tinggal di Kabupaten Grobogan. Diceritakan Kiai Demang Secakarmo mendapat tugas menjadi telik sandi atau mata-mata kerajaan yang sekarang dikenal dengan istilah intelijen. Ia oleh Mangkunegoro I diberi tugas menyusup ke utara tepatnya di daerah Nguter yang merupakan wilayah Kasunanan atau berdekatan langsung dengan Selogiri wilayah Mangkunegaran.
Kiai Demang Secakarmo sebagai telik sandi menyamar sebagai orang yang sedang mbarang atau mengamen sesuai dengan keahlianya di bidang seni karawitan dan pedalangan.
Suatu hari dengan pengikutnya sampai di Dukuh Nguter. Di dukuh tersebut selain menggelar seni karawitan juga mengajarkan penduduk berbagai petuah hidup yang berlandaskan agama Islam dan budaya Jawa selain ilmu pengetahuan terutama pertanian melalui pagelaran wayang kulit yang digelarnya.
Menurut buku “Bothekan Karawitan I” terbitan 2002 yang ditulis Rahayu Supanggah disebutkan bahwa Kiai Demang Secakarmo selain ahli seni karawitan juga seorang dalang mumpuni yang memiliki kesaktian, yaitu dalam sekejab bisa mengubah seorang penggembala kambing atau siapa saja yang ditemui, menjadi pengrawit atau pemusik karawitan yang mumpuni (tanpa latihan atau pun kursus) untuk mengiringi pagelaran pedalangannya.
Kesaktian gaib dalam olah seni pedalangan yang dimiliki Kiai Demang Secakarmo tersebut berbeda dengan Ki Dalang Soponyono yang makamnya berada di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, tetapi petilasannya berada di Juwana, Kabupaten Pati. Makam dan petilasan mereka sama-sama dikenal sebagai pundennya seniman dalang.
Punden menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa; tempat keramat; sesuatu yang sangat dihormati.
Setelah dirasa cukup dalam menyusup wilayah Kasunanan bagian selatan. Maka Kiai Demang Secakarmo melaporkan hasil telik sandinya ke Kadipaten Mangkunegaran.
Suatu hari sepulang dari tugas penyusuran sebagai mata-mata kerajaan di tepi kali Bengawan Solo atau di sekitar Desa Nambangan dan Nguter yang merupakan batas wilayah Kasunanan bagian selatan dan Mangkunegaran bagian utara. Kiai Demang Secakarmo menyeberang ke utara dan mampir ke Dukuh Nguter untuk mengenang dan mencari makam Cikal Bakal Nguter.
Sebenarnya di Dukuh Nguter tidak ada makam Cikal Bakal yang dikeramatkan atau dipundi sebagai leluhur desa. Namun, Kiai Secakarmo terus saja mencari keberadaan makam tersebut. Ia perlu berziarah mendoakan dan menghaturkan terima kasih kepada leluhur desa setempat. Sebab, selama mbarang tidak diganggu, diterima dengan baik, malah bisa mendapatkan ketentraman dan keberhasilan dalam berkesenian. Namun, dalam pencarian itu, Kiai Demang Secakarmo sendiri malah meninggal dalam pencarian itu.
Masyarakat akhirnya mengetahui bahwa ia seorang yang dulu pernah mbarang ternyata seorang abdi dalem Kadipaten Mangkunegaran Solo. Kemudian oleh warga setempat dikuburkan di pemakaman desa setempat. Pusara Kiai Demang Secakarmo hingga sekarang masih terawat baik.
Tidak ada sumber yang berani memastikan mengenai kapan Kiai Demang Secakarmo mulai berada di Dukuh Nguter. Masih belum ada sumber informasi valid yang bisa dijadikan rujukan untuk diceritakan kepada generasi sekarang.
Masyarakat sekitar hanya mengenal bahwa tokoh yang dipundi atau dihormati itu, dipercaya sebagai abdi dalem Mangkunegaran Solo yang dikenal sebagai empu yang ahli dalam seni karawitan dan pedalangan. Tak heran pusaranya banyak dikunjungi seniman dalang dan pengrawit yang ingin laris tanggapan, sebab dianggap sebagai pepundennya seniman dalang dan pengrawit.
Makam Kiai Demang Secakarmo oleh penduduk setempat juga dianggap sebagai punden leluhur Dukuh Nguter, karena meskipun telah lama meninggal, dipercaya masih memperhatikan kesejahteraan dan keselamatan warga. Sehingga jika ada acara hajatan seperti khitanan, pernikahan, dan bersih desa, wajib melakukan ziarah dan meletakkan sesaji di makamnya, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur agar acara hajatan terhindar dari malapetaka.
Menurut Wagiman, 86, sesepuh Dukuh Nguter, yang kebetulan rumahnya di sebelah utara makam Kiai Demang Secakarmo, sampai akhir 90-an makam tersebut masih sering diziarahi para seniman tradisional dari berbagai daerah. Dari dalang terkenal, Ki Nartasabdha, Ki Manteb Soedharsono hingga Ki Manteb Soedharsono disebut pernah mengunjunginya.
“Banyak yang sowan ke sini, karena niatnya ngalap (mencari) berkah, terutama para dalang. Konon, siapa yang pernah main ke sini Insya Allah ndalangnya bisa laris dan semangat dalam meniti karir sebagai dalang,” jelas Wagiman, Jumat (5/8/2022).
Namun, setelah angin modernisasi bertiup, generasi seniman dalang sekarang enggan berziarah seperti seniman dalang dahulu. Keberadaan makam Kiai Demang Secakarmo sendiri, hingga kini masih cungkup gagah dengan bangunan cungkupnya, makin menambah kewibawaan dan kesakralan, meskipun tanpa peziarah. Tetapi masyarakat setempat mengabadikan kemasyhurannya pada lapangan olahraga desa dengan nama Stadion Mini Cakarma Nguter. (sapta nugraha)
Facebook Comments