Khutbah Jumat: Bagaimana Posisi Anak dalam Pandangan Islam

Posisi anak dalam islam.(Foto: dream)

Sukoharjonews.com – Dalam pandangan Islam, anak dianggap sebagai anugerah Allah SWT yang harus dijaga dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Pentingnya merawat, mendidik dan memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang serta keadilan ditekankan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis.

Dikutip dari Nu Online, pada Jumat (26/7/2024), sebagai orang tua kita harus mempunyai visi misi dalam mendidik anak dan melihat posisi anak dalam syariat. Sebagai acuannya, tentu kita bisa merujuk informasi Al-Quran, hadits, dan penjelasan para ulama.

Kaitan dengan posisi anak, para ulama, salah satunya Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, Jilid 23, halaman 423, menyebutkan bahwa ada sejumlah posisi anak:

Pertama, anak sebagai ujian dan amanah bagi orang tuanya yang harus dijaga untuk kelak dipertanggungjawabkan, dirawat dengan sebaik-baiknya, diberi asupan makanan yang baik dan halal, serta dididik secara Islami agar tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang taat ibadah kepada Allah, berbakti kepada orang tua, dan tangguh menghadapi masa depan. Allah berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Artinya, “Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun [64]: 15).

Dalam haditsnya, Rasulullah saw. juga menyatakan:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

Artinya, “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani,” (HR Bukhari dan Muslim).

Karena itu, baik dan tidak baiknya seorang anak tergantung didikan orang tuanya. Tak heran, jika didikannya baik, anak kelak menjadi penyejuk hati dan jiwa, serta menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Hal ini seperti yang diharapkan dalam doa Al-Quran yang kerap kita baca.

رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً

Artinya, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa,” (Q.S. al-Furqan [25]: 74).

Namun, capaian seperti itu tidak lahir begitu saja. Dibutuhkan perjuangan yang keras dari kita selaku orang tua untuk mengasuh, membina, serta mendidiknya, bahkan mengorbankan biaya yang tak sedikit. Juga yang tak kalah pentingnya adalah doa, baik dari kita selaku orang tua maupun dari orang-orang saleh.

Kedua, anak sebagai anugerah dan nikmat dari Allah yang dapat memberikan kebahagiaan dan semestinya disyukuri orang tuanya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Asy-Syura ayat 49-50:

لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ الذُّكُوْرَ

Artinya, “Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki,” (QS. asy-Syura [26]: 49).

Sejalan dengan itu, anak dapat memberi kebahagiaan karena menjadi perhiasan sebagaimana yang disebutkan ayat lainnya:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Artinya, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).

Namun, perlu diingat pula jangan sampai ada kecintaan berlebihan terhadap anak-anak hingga membuat kita terlena dan mengabaikan hal-hal yang membahayakan dan merusak masa depannya. Karena itu, dalam ayat lain, Allah mengingatkan agar kekayaan dan keturunan tidak sampai melalaikan para hamba-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Artinya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi,” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).

Ketiga, anak sebagai penerus keturunan. Kelahirannya menjadi penerus cita-cita hidup dan kelestarian orang tuanya. Terlebih anak yang saleh, yakni anak yang sikap dan perilakunya mencerminkan keimanan, ketakwaan, dan kepasrahan diri pada Allah. Di samping itu, tentu dapat memberikan manfaat kepada sesama.

Kesalehan itulah yang akan menjamin terkabulnya doa dan impian kedua orang tua terhadap anak, sebagaimana dalam kisah Nabi Ya’qub:

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Artinya, “Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia bertanya kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan kakek moyangmu, yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya,” (QS. Al Baqarah [2]: 133).

Keempat, anak sebagai ladang pahala orang tuanya. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda:

إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه

Artinya, “Apabila manusia itu meninggal
dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kepadanya,” (HR. Muslim). Namun, siapa sangka jika orang tua teledor dalam mendidik anak, maka bukan mustahil anak akan menjadi musuh orang tua. Hal itu diperingatkan dalam ayat berikut:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْواجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

Artinya, “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anak anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka,” (QS. At-Taghabun [64]: 14).

Sebagian mufasir menjelaskan, maksud sebagai musuh di sini adalah menjadi pihak yang menghalang-halangi jalan Allah, merintangi jalan ketaatan kepada-Nya. Mufasir lain mengemukakan, maksud sebagai musuh di sini adalah musuh seperti yang terjadi pada hari Kiamat. Allah berfirman:

لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ

Artinya, “Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tadak bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 3).

Itulah posisi anak sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits. Semoga anak-anak kelak menjadi anak-anak yang beriman, berbakti, dan berguna bagi sesama, semoga anak-anak kita memiliki anak menjadi qurrata a’yun alias atau penyejuk jiwa, hiasan mata, yang berperangai mulia hingga menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Namun, tentu saja itu semua bukan sekedar doa dan harapan, tapi harus dibarengi dengan usaha keras dan jerih payah yang luar biasa dari kita selaku orang tuanya.(cita septa)

Cita Septa Habibawati:
Tinggalkan Komentar