Sukoharjonews.com (Nguter) – Dalam buku “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa“ yang ditulis Clifford Geertz yang diterbitkan Komunitas Bambu tahun 2019, menjelaskan bahwa dhanyang adalah nama lain dari lelembut atau makhluk halus yang sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal.
Biasanya, dhanyang tersebut menetap pada suatu tempat yang disebut punden seperti di pohon besar, batu besar, gunung, mata air, atau bukit yang ada di suatu desa. Ketika masih hidup sebagai manusia, ia datang membuka lahan desa yang masih berupa hutan belantara, membersihkan serta membagi-bagi tanah kepada para pengikut, keluarga, teman-teman, dan mengangkat diri sebagai lurah atau kepala desa yang pertama.
Setiap desa biasanya mempunyai seorang dhanyang utama. Sesudah meninggal biasanya dikuburkan di dekat pusat desa dan makamnya lalu menjadi punden. Meskipun telah meninggal tapi dipercaya masih memperhatikan kesejahteraan warga dan keselamatan desanya. Hanya orang tertentu atau paranormal yang dianggap mampu membaca isyarat alam atau wangsit dari leluhurnya itu.
Para dhanyang diyakini menerima permohonan orang yang minta pertolongan. Mereka tidak mengganggu atau pun menyakiti melainkan melindungi. Berbeda dengan demit yang cenderung mengganggu manusia. Mereka tak segan menakuti dengan berbagai penampakan. Bahkan ada yang diambil nyawanya sebagai pengganti tumbal rutin yang tidak dilaksanakan jika manusia memiliki perjanjian dengan demit.
Di tengah pemukiman Dukuh Tegalpacing, Desa Baran, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo terdapat dhanyangan yang berupa pohon beringin besar. Jika ada acara hajatan seperti khitanan, pernikahan, rasulan bersih desa dan sebagainya, wajib melakukan “caos dahar” dengan meletakkan sesaji di tempat tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, “caos” artinya menyiapkan, sedangkan “dahar” adalah makan. Jadi secara harfiah “caos dahar” adalah menyiapkan makan. “Caos dahar” merupakan bentuk cara untuk melatih pribadi menghormati leluhur dan bersyukur kepada Yang Mahakuasa. Menghormati leluhur yang sudah bersusah payah berjuang dan prihatin, dan beryukur kepada Yang Mahakuasa karena telah memberikan kenikmatan, itulah mengapa caos dahar dilakukan. “Caos dahar” juga merupakan hubungan timbal balik “Sangkan Paraning Dumadi” atau Yang Mencipta dengan manusia sebagai hambanya.
Pohon beringin besar di Dukuh Tegalpacing telah ratusan tahun usianya dan masih hidup kokoh hingga sekarang. Pohonnya jenis “Ficus Annulata” atau beringin cekik atau beringin akar lilit. Tetapi warga setempat menyebutnya “wit ringin bulu” atau pohon bulu.
Beringin bulu termasuk tanaman dikotil atau berbelah dua. Akarnya tergolong akar tunggang dan berwarna coklat. Bentuk fisiknya serupa dengan beringin pada umumnya. Perbedaan dengan pohon ringin lain ada pada struktur akarnya.
Struktur anatomi akar beringin bulu hampir mirip dengan struktur anatomi batangnya. Akar-akarnya tumbuh menjalar dan mengikat bagian batang pohonnya. Tak sedikit pula yang tumbuh bersatu dengan pohon lain, sehingga pohon tersebut menjadi sasaran lilitan atau cekik-an dari akar beringin bulu.
Buahnya berbentuk bulat dan berwarna hijau. Buah ini tumbuh dari bunga sehingga letaknya juga mengelompok pada bagian ujung-ujung dahan. Buahnya memiliki ukuran diameter antara 2 – 4 cm, dan bagian dalam buah terdapat biji berwarna coklat. Buah beringin bulu juga sering menjadi santapan hewan seperti burung, kelelawar, tupai, dan monyet.
Namun, ada bagian lain dari pohon beringin bulu yang bisa digunakan untuk pengobatan. Getahnya memiliki manfaat menyembuhkan penyakit udun atau bisul. Buahnya yang cukup manis bisa dimakan dan rasanya seperti buah duwet.
“Zaman dahulu susah mencari makan sehingga makan biji pohon bulu sudah dapat mengenyangkan. Daunnya malah dapat dimanfaatkan untuk mengatasi demam. Sedangkan akarnya dapat digunakan untuk mengobati penyakit lepra,” terang Rabinem Karsosemito, 91, sesepuh warga Tegalpacing.
Pohon bulu di Dukuh Tegalpacing terletak di pojok belakang rumah atau tepat di antara garis perbatasan lahan pekarangan luas milik Djikun Djojomartono dan Pudjo Karsono. Perbatasan tersebut dijadikan gang masuk atau jalan kecil menuju pohon ringin atau dhanyangan.
Dhanyangan tersebut diyakini sebagai tempat tinggalnya Eyang Nggadha yaitu sebutan nama yang mbaureksa menjaga keselamatan Dukuh Tegalpacing. Sehingga setiap warga yang akan menyelenggarakan hajatan harus dimohonkan berkah terlebih dahulu kepada Eyang Nggadha ini. Cara atau prosesi ngalap berkah dari Eyang Nggadha memang cukup mudah yakni meletakkan sesajen di bawah pohonnya.
Jika ada hajatan mantu maka kedua pengantin harus dikirapkan mengelilingi pohon dengan harapan si Eyang menjaga dari gangguan apa pun selama resepsi berlangsung. Namun setelah angin modernisasi bertiup, upacara ritual semacam itu menghilang dengan sendirinya.
“Hampir semua warga seusia saya, waktu menikah diarak mengelilingi pohon dhanyangan itu. Saya nikah tahun 72 juga tak luput dibawa ke situ. Nuruti tradisi desa waktu itu. Sekarang sudah tidak ada lagi,” ujar Kamidi, 67, warga Tegalpacing, Selasa (9/8/2022).
Menurut Mintowiyono, 95, warga sesepuh Tegalpacing, ada yang memanggil Dhanyang Eyang Nggadha dengan sebutan Eyang Ngga-udha. Dhanyang Nggadha atau Ngga-udha mempunyai istri bernama Eyang Parti dan memiliki anak kembar perempuan bernama Mursiyah dan Mursiyem.
Tahun 70-an hingga 80-an di Tegalpacing ada seorang dukun pengobatan bernama Kasiyo Sutaredjo yang dikenal dengan sebutan Mbah Suto. Menurut cerita yang disampaikan cucunya, bahwa kakeknya atau Mbah Suto sering diajak Dhanyang Nggadha pergi ke suatu tempat naik dokar.
“Jika diajak, pasti Mbah Suto dalam keadaan sedang tidur dan kemudian akan nglindur atau mengigau dengan kaki bejingkat-jingkat di dipan seperti kuda berlari,” ujar Partini, 63, Minggu (7/8/2022).
Salah satu anak Dhanyang Nggadha ada yang suka dengan anaknya Mbah Suto. Artinya anak perempuan Mbah Suto yang masih balita tersebut mati. Meskipun sebenarnya meninggal karena sakit panas. Tapi keluarga Mbah Suto percaya bahwa sukma putrinya diambil oleh anaknya Dhanyang Nggadha untuk diajak bermain di alamnya. (sapta nugraha/mg)
Tinggalkan Komentar