Sukoharjonews.com – Sah atau tidak sah-nya wudhu seorang muslim akan menjadi patokan utama untuk menilai sah atau tidak sah-nya shalat yang dilakukan oleh seorang muslim. Wajar saja, sebagai muslim kita harus berhati-hati dalam memilih air yang digunakan untuk berwudhu.
Dikutip dari Kemenag, pada Sabtu (13/1/2024), dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan mengenai hukum wudhu dengan air yang terkena limbah. Menurut Qadhi Abu Suja’ ada tujuh macam air yang termasuk dalam kategori air yang dapat digunakan untuk berwudhu, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.
Sebagaimana dalam keterangan beliau dalam kitab Matan Abi Suja’ halaman 25 berikut;
المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد
“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air dari hasil hujan es.“
Tujuh macam air itu disebut sebagai air mutlak selama masih pada sifat asli penciptaannya. Bila sifat asli penciptaannya berubah maka ia tak lagi disebut air mutlak dan hukum penggunaannya pun berubah.
Meskipun begitu, bagi seseorang tetap diperbolehkan bersuci dengan air yang terkena limbah, selama limbah tersebut tidak sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Namun, apabila ada benda najis atau benda hasil limbah sampai larut ke dalam air, sehingga merubah warna, bau dan rasa air, maka tidak lagi dapat digunakan untuk bersuci.
Sebagaimana keterangan Imam Syafi’i, dalam kitab Al-Umm, juz 1, halaman 20 berikut,
وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ. وَإِنْ أَخَذَ مَاءً فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ
“Jika ada air kemasukan benda halal (suci) kemudian mengubah bau dan rasanya sedangkan antara benda yang membuat berubah dan air tidak melebur jadi satu, maka wudhu menggunakan air yang seperti ini hukumnya sah. Misalnya ada air kemasukan kayu atau tir kemudian baunya menyengat atau sejenisnya.”
Jika ada orang mengambil air, lalu dicampur dengan susu, tepung atau madu sehingga airnya larut menjadi satu, maka wudhu dengan air seperti ini hukumnya tidak sah. Karena air larut bersama benda dan mengubah netralitas nama air, bisa menjadikan namanya berubah menjadi air tepung, air susu, dan air madu.”
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang tetap diperbolehkan bersuci dengan air yang terkena limbah, selama limbah tersebut tidak sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Namun, apabila ada benda najis atau benda hasil limbah sampai larut kedalam air, sehingga mengubah warna, bau dan rasa air, maka tidak lagi dapat digunakan untuk bersuci.(cita septa)
Facebook Comments