Sukoharjonews.com – Gaya hidup pada zaman modern merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam kehidupan masyarakat, baik dari segi sandang, pangan, maupun papan. Kesemuanya seakan-akan menjadi tolak ukur atas keberhasilan seseorang. Penampilan yang eksotis dan parlente menjadi hal yang wajib disebagian kalangan masyarkat.
Akhirnya, munculah pertanyaan tentang menjalani operasi sedot lemak atau biasa disebut liposuction menurut perspektif maqashid syariah. Jika diperbolehkan, dalam hal apa saja yang menjadi kesimpulan para ulama tentang diperbolehkannya liposuction? Dikutip dari Bincang Syariah, pada Selasa (17/9/2024), mayoritas ulama membagi hukum sedot lemak berdasarkan tujuannya menjadi 2, yaitu:
Pertama, jika sedot lemak dilakukan untuk kepentingan kesehatan atau pengobatan maka hukum sedot lemak diperbolehkan. Karena pada kondisi ini seseorang yang akan melakukan sedot lemak sedang dalam keadaan terdesak atau karena kebutuhan.
Kedua, jika sedot lemak dilakukan hanya sekedar untuk kepentingan estetika seperti menjaga bentuk tubuh dan untuk tujuan kecantikan maka sedot lemak tidak diperbolehkan atau haram. Karena pada kondisi ini, kerusakan yang berpotensi ditimbulkan pada proses penyedotan lemak lebih besar daripada maslahat yang akan didapat setelah melakukan sedot lemak.
Pendapat seperti ini salah satunya diutarakan oleh Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda dengan menganalogikan hukum sedot lemak kepada hukum transplantasi dan suntik botox. Karena belum ada fatwa MUI yang menyatakan secara tegas tentang hukum sedot lemak. Dengan kesimpulan bahwa operasi pada organ tubuh pada dasarnya adalah haram karena menyakiti tubuh. Tetapi, jika keadaannya darurat atau untuk memenuhi kebutuhan maka hal tersebut diperbolehkan.
Apakah Sedot Lemak Termasuk Maslahat?
Kedua hukum ini didapat dengan mempertimbangkan dampak positif dan negatif (maslahat dan mafsadat) yang ditimbulkan dari aktivitas sedot lemak. Sebagaimana yang disimpulkan oleh para ulama bahwa tujuan adanya sebuah syariat adalah untuk menarik maslahat dan menolak mafsadat.
Untuk menarik maslahat dan menolak mafsadat ini ada ketentuan yang harus dipertimbangkan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn ‘Asyur dengan mengutip perkataan Abdul Aziz bin Abdus Salam dalam kitab Maqâsidusy Syarî’atil Islâmiyyah juz 3 halaman 204:
واعلم أن تقديم الأصلح فالأصلح ودرء الأفسد فالأفسد مركوز في طبائع العباد … ولا يُقدَّمُ الصالح على الأصلح إلا جاهل بفضل الأصلح أو شقيٌ متجاهل لا ينظر إلى ما بين المرتبتين من التفاوت
Artinya: “Ketahuilah bahwa mendahulukan maslahat demi maslahat yang lebih besar dan menolak kemafsadatan karena menolak mafsadat yang lebih besar adalah termasuk karakteristik manusia. Dan tidaklah didahulukan suatu maslahat dengan meninggalkan maslahat yang lebih besar kecuali jika dilakukan oleh orang yang tidak tau terhadap keutamaan dari maslahat yang lebih besar tersebut atau dilakukan oleh orang yang celaka yang tidak mau melihat perbedaan derajat kedua maslahat tersebut”.
Berdasarkan redaksi tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam menentukan atau melakukan hal tertentu kita harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadatnya. Ketika yang kita lakukan mengandung maslahat dan bisa menarik kemaslahatan yang lebih besar, maka kita harus melakukannya.
Sebaliknya, jika kita tidak melakukan sesuatu bisa menjauhkan kita dari kerusakan/mafsadat maka kita harus meninggalkannya agar kita terhindar dari kerusakan yang lebih besar.
Selain itu, setidaknya ada tiga hal lain yang harus kita pertimbangkan dalam menentukan hukum boleh atau tidaknya sesuatu dan menentukan mana yang lebih baik antara melakukan atau meninggalkan sesuatu.
Pertama, jika ketika melakukan atau meninggalkan sesuatu keduanya memiliki maslahat, maka yang didahulukan adalah yang memiliki kemaslahatan lebih besar.
Kedua, jika ketika melakukan atau meninggalkan sesuatu keduanya mengandung mafsadat/kerusakan, maka yang didahulukan adalah mafsadat yang masih bisa ditolerir agar terhindar dari mafsadat yang lebih besar.
Ketiga, jika ketika melakukan atau meninggalkan sesuatu salah satunya mengandung menjauhkan dari mafsadat sedangkan yang lain mengandung maslahat, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadat. Karena menolak mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan.
Sama halnya dengan kasus sedot lemak yang sedang dibahas, aktivitas sedot lemak memang mengandung kemaslahatan yang akan didapatkan para pelakunya seperti bisa mempercantik diri dan mengurangi berat badan agar bentuk tubuh menjadi ideal.
Akan tetapi ketika melakukan sedot lemak, terdapat mafsadat yang dapat merugikan para pelakunya. Karena ketika melakukan sedot lemak, orang yang melakukannya berpotensi untuk mengalami berbagai efek samping yang justru membahayakan tubuhnya.
Karena alasan inilah sedot lemak tidak diperbolehkan karena akan menyakiti tubuh bahkan membahayakan nyawa. Beda halnya jika sedot lemak tersebut dilakukan karena alasan kesehatan yang mengharuskannya mengurangi berat badan, atau karena ia mengalami obesitas yang harus diobati dengan cara sedot lemak. Ketika kondisi seperti ini, sedot lemak diperbolehkan karena keadaan darurat dan ada kebutuhan yang mengharuskannya melakukan sedot lemak.
Dengan demikian dapat disimpulkan jika sedot lemak hanya dilakukan demi mempercantik diri lebih baik tidak dilakukan karena mempertahankan nyawa lebih penting daripada menjaga estetika. Karena sejatinya, siapapun cantik dengan bentuk apapun, kurus maupun berisi.(cita septa)
Facebook Comments