Sukoharjonews.com – Melangsungkan pernikahan tidak hanya untuk saling memahami pasangan satu sama lain. karena ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan perlu disiapkan sebaik mungkin. Dalam ajaran Islam, mahar atau mas kawin diwajibkan untuk menyempurnakan sebuah pernikahan. Namun bolehkah mahar nikah dijual?
Dikutip dari Bincang Muslimah, pada Rabu (9/10/2024), berbeda dengan uang adat yang berkembang sebagai pemberian kepada orang tua calon istri, mahar merupakan hak yang telah suami berika untuk istri. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam QS. An-Nisa’ [4]:4:
وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓـٔٗا مَّرِيٓـٔٗا
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Di dalam ayat tersebut terdapat kata perintah “ءَاتُوْا” yang merujuk kepada para suami untuk memberikan mahar kepada istrinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian mahar merupakan suatu keharusan karena menggunakan kata perintah. Sehingga mahar merupakan pemberian yang menjadi hak istri sepenuhnya. Akan tetapi jika si istri bersedia untuk memberikan sebagian mahar tersebut kepada suami, maka suami boleh ikut serta menikmati mahar tersebut.
Mahar Boleh Diberikan Kepada Suami
Sebagaimana keterangan pada ayat di atas, bahwa seorang istri boleh memberikan mahar yang ia terima kepada suaminya. Keterangan ini yang kemudian menjadi dalil memperbolehkan tindakan apapun terhadap mahar tersebut. Termasuk menjadikan mahar sebagai modal usaha, selama semua tindakan tersebut berdasarkan pemberian istri selaku pemilik mahar.
Sebagaimana penjelasan Fakhruddin al-Razi di dalam kitab Mafatih al-Ghaib juz 9 halaman 494:
دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى أُمُورٍ: مِنْهَا أَنَّ الْمَهْرَ لَهَا وَلَا حَقَّ لِلْوَلِيِّ فِيهِ، وَمِنْهَا جَوَازُ هِبَتِهَا الْمَهْرَ لِلزَّوْجِ وَجَوَازُ أَنْ يَأْخُذَهُ الزَّوْجُ … قُلْنَا: الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً لَيْسَ نَفْسَ الْأَكْلِ، بَلِ الْمُرَادُ مِنْهُ حِلُّ التَّصَرُّفَاتِ، وَإِنَّمَا خَصَّ الْأَكْلَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّ مُعْظَمَ الْمَقْصُودِ مِنَ الْمَالِ إِنَّمَا هُوَ الْأَكْلُ
“Ayat ini mengindikasikan beberapa hal, di antaranya bahwa sesungguhnya mahar itu adalah hak istri, sedangkan wali tidak memiliki hak apapun terhadap mahar tersebut. Dan di antaranya (ayat ini menunjukkan) kebolehan memberikan mahar kepada suami dan kebolehan suami untuk mengambil mahar tersebut … kami berpendapat yang dimaksud dengan firman Allah, “fakuluuhu marii’an hanii’a (makanlah/nikmatilah pemberian itu dengan senang hati) bukan dimaksudkan terhadap esensi makan. Melainkan yang dimaksud ayat tersebut adalah kebolehan untuk melakukan tindakan apapun terhadap mahar tersebut. Sedangkan penyebutan kata ‘makan’, karena mayoritas tujuan penggunaan uang adalah untuk makan.”
Berdasarkan keterangan tersebut suami boleh menggunakan mahar istri untuk keperluan apapun termasuk modal usaha. Tetapi dengan syarat selagi yang ia gunakan tersebut merupakan mahar yang sudah mendapat izin dari istri untuk menggunakannya.
Menyikapi hal ini Mbah Maimoen Zubair pernah berdawuh di dalam salah satu ceramahnya, “uang mahar itu berkah kalau buat modal usaha. Jadi nanti kalau kamu nikah usahakan uang maharnya yang banyak. Sehingga setelah nikah, kamu bisa minta izin istrimu untuk menggunakan uang mahar tersebut buat modal usahamu, insya Allah usahamu barokah.”
Dengan demikian dapat menarik kesimpulan bahwa boleh menggunakan mahar sebagai modal usaha bahkan insya Allah bisa membawa barokah. Sekian, semoga bermanfaat.(cita septa)
Tinggalkan Komentar