Bagaimana Jika Ipar Ikut Campur dalam Masalah Rumah Tangga?

Hukum ipar ikut campur dalam rumah tangga.(Foto: kompasiana)

Sukoharjonews.com – Dalam kehidupan berumah tangga, beberapa kali pihak luar, termasuk ipar, ikut campur dalam urusan rumah tangga. Kehadiran ipar yang berlebihan dalam urusan rumah tangga bisa menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan bagi pasangan suami istri.


Dikutip dari Nu Online, pada Jumat (19/7/2024), saat anak menikah kewajiban orang tua adalah mengingatkan dan mendorong anak agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, atau mendorong dan mengingatkan anak agar mampu memenuhi kewajiban sebagai suami yang baik.

Berkaca dari peranan orang tua, maka peranan pihak lain dalam rumah tangga seseorang pun hanya sebatas untuk membantu keluarga tersebut menjadi lebih baik, dan bukan pada sesuatu yang bersifat sangat privasi, atau memungkinkan terjadinya konflik baru.

Dengan demikian perlu kiranya kita mengutip pandangan Al-Ghazali yang menyatakan:

ويجب على حاكم البلد -وكذا كل من له قدرة من وليها وغيره- مساعدته على ذلك والسعي في إرجاعها إزالة عن المنكر

Artinya, “Wajib bagi hakim sebuah daerah begitu juga setiap orang dari walinya atau orang lain yang mampu (mengembalikan anaknya pada ketaatan atas suami) untuk menolongnya atas hal tersebut dan bergegas untuk membuatnya kembali pulang sebagai upaya menghilangkan kemungkaran.” (Al-Ghazali, I/408).


Dengan demikian kewajiban orang tua dan anggota keluarga lainnya untuk memberi nasihat dan mengupayakan agar seseorang tetap berada di jalan yang benar merupakan kewajiban untuk amar ma’ruf nahi mungkar yang sejatinya tidak hanya dibebankan pada seorang wali, namun juga pada setiap orang mukmin yang mengetahui setiap hal mungkar tersebut. Hal ini tentunya bukan dalam bentuk intervensi atas kehidupan dan permasalahan orang lain.

Berkaitan dengan sikap intervensi tersebut, terdapat satu hadis spesifik yang menjelaskan tentang gambaran intervensi seseorang atas rumah tangga orang lain:

من خبب زوجة امرئ او مملوكه فليس منا رواه ابو داود

Artinya, “Barang siapa yang merusak istri seseorang atau budaknya maka tidak termasuk dari golonganku.” (HR. Abu Dawud).

Artinya, siapapun yang memberi pengaruh buruk untuk merusak rumah tangga seseorang, atau menjadi sebab rusaknya rumah tangga seseorang baik dengan ucapan atau sikap dianggap telah melakukan dosa besar. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair, [Darul Fikr, 2009), juz I, halaman 179).


Sebab itu, simpulan yang dapat kita petik dari uraian di atas adalah bahwa intervensi keluarga, yang di antaranya adalah ipar, atas rumah tangga orang lain tidak dapat dibenarkan apabila sampai pada titik yang tidak wajar dan dapat membuat permasalahan semakin rumit atau bahkan berujung pada perceraian. Sedangkan jika keluarga hadir hanya untuk menasihati dan mendorong untuk menyelesaikan masalah sesuai tuntunan syariat, maka hukumnya sangat dianjurkan bahkan bisa jadi wajib. Wallahu a’lamu bis Shawab.(cita septa)


How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *