Sukoharjonews.com – Ketika membeli produk makanan dan minuman di toko kecil maupun supermarket, sudah seharusnya konsumen memastikan tanggal kedaluwarsa produk tersebut. Tak jarang barang-barang konsumsi yang sudah kedaluwarsa terjual dan jatuh ke tangan konsumen. Terkadang, penjual lupa untuk memperbarui barang-barang tersebut, dan ada juga yang secara sengaja menjualnya dengan menyembunyikan tanggal kedaluwarsa.
Dikutip dari Bincang Syariah, pada Sabtu (9/11/2024), dalam transaksi Islam tidak semua benda, makanan, minuman dan lainnya itu bisa dijadikan barang dagangan. Ada beberapa prinsip perdagangan yang harus terpenuhi agar apa yang ingin dijual itu sah dan legal secara syariat. Di samping memperhatikan sejumlah syarat, baik pada barang itu sendiri, pihak pedagang, pembeli, serta uang (tsaman).
Prinsip Mua’amalah
Syekh Utsman Syabir dalam kitab “al-madkhal ila fiqhi al-mu’amalah al-maliyyah”, halaman 19 – 22, menyebutkan bahwa setidaknya ada enam prinsip dalam perdagangan; saling rida antar penjual dan pembeli, komitmen dalam akad dengan menyempurnakan sejumlah rukun serta beberapa syarat, tidak ada resiko, bebas riba, tidak mengandung judi, dan wajib adil.
Selain itu, beliau juga memaparkan bahwa syarat umum dalam akad jual beli ialah harus terlepas dari empat aib berupa paksaan, kekeliruan dalam barang dagangan, penipuan, dan kerugian.
Syarat Ma’qud ‘Alaih (Barang Dagangan)
Dilansir dalam kitab “nihayatu al-zain” karangan Imam Nawawi. Tepat pada halaman 221, beliau mengatakan bahwa syarat dalam barang dagangan itu ada enam. Salah satunya adalah barang tersebut harus bisa dimanfaatkan secara syariat. Baik manfaat tersebut dirasakan secara langsung atau di kemudian hari.
والخامس: النفع بالمعقود شرعا حالا أومآلا
Artinya: Syarat yang nomer lima: adanya manfaat pada barang dagangan atau tsaman. Baik saat ini atau nanti.
Hukum Menjual Produk Kedaluwarsa
Maka dari itu, mengingat bahwa produk kedaluwarsa yang secara kasat mata dapat membahayakan kesehatan—seperti yang disampaikan oleh ahli kedokteran—hal ini semakin memperjelas bahwa produk tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan dan keamanan konsumen. Produk yang berpotensi merugikan konsumen secara fisik maupun finansial tidak seharusnya beredar di pasaran, mengingat adanya risiko terhadap kesehatan dan keselamatan pengguna.
Ketidakadilan yang timbul akibat peredaran produk kedaluwarsa, seperti risiko kesehatan dan potensi penipuan, menegaskan alasan mengapa produk semacam ini tidak layak untuk dikonsumsi dan dianggap tidak sah dalam prinsip perdagangan yang adil. Selain itu, kerugian yang dialami oleh konsumen menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, yang seharusnya dilindungi oleh hukum dan etika bisnis.
Disebutkan dalam sebuah hadis, ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh seorang sahabat;
أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Artinya: perbuatan apa yang lebih baik wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: perbuatan seseorang dengan usahanya sendiri. Dan setiap jual beli yang baik.
Kata وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ, ditafsiri oleh para ulama, misal Syekh Zakariyya al-Anshari, dengan;
لا غش فيه ولاخيانة
Artinya: tidak ada penipuan dan pengkhianatan dalam sebuah transaksi. (Fathul Mu’in, halaman 317).
Secara keseluruhan, hukum menjual produk yang telah melewati tanggal kedaluwarsa sebaiknya dihindari karena potensi risikonya terhadap kesehatan konsumen. Produk yang sudah kedaluwarsa seringkali mengalami penurunan kualitas dan berpotensi mengandung zat berbahaya yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan jika dikonsumsi.
Berdasarkan kajian hukum Islam dan etika perdagangan, tindakan menjual barang kedaluwarsa ini bertentangan dengan prinsip keamanan dan keadilan dalam bertransaksi, di mana penjual berkewajiban untuk memberikan produk yang aman dan layak konsumsi kepada pembeli.
Lebih lanjut, dalam Islam, prinsip perlindungan konsumen sangat dijunjung tinggi sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan moral. Menjual barang yang bisa membahayakan kesehatan bukan hanya menyalahi aturan keselamatan konsumen, tetapi juga menyalahi prinsip gharar (ketidakjelasan atau ketidakpastian) yang seharusnya dihindari dalam transaksi.(cita septa)
Tinggalkan Komentar